Pic Source: cjsmithlaw.com
Menyaksikan pemilihan presiden Amerika Serikat dari dekat membuat penulis menyadari adanya kesamaan dengan pemilu Indonesia tempo hari.
Fenomena pemberian dukungan terhadap para kandidat di media sosial serupa dengan apa yang Indonesia alami pada Pilpres 2014. Opini masyarakat di media sosial terpolarisasi pada dua titik ekstrem: dukung Donald Trump atau Bernie.
Di Jakarta, meski pilkada DKI masih tahun depan, tetapi ”perang” status di media sosial sudah marak. Para pengguna media sosial berubah jadi agen propaganda yang saling kritik dan saling serang. Masyarakat saat ini tidak lagi membaca berita untuk mencari kebenaran sebuah informasi. Kebenaran pada dasarnya sudah ada di kepala mereka dan media hanya digunakan untuk mencari argumen pendukung.
Dalam mengakses informasi, seorang bisa dengan tekun menyeleksi berita sesuai pandangannya, tanpa peduli benar atau salah. Bila di media mainstream berbeda, ia akan beralih ke media sosial untuk mencari pembenaran. Jika masih belum ada, ia akan mencari di laman apa pun, meski pengelolanya tidak jelas dan kebenaran informasinya diragukan. Setelah menemukan berita yang disukai, mereka akan membaginya di lini masa media sosial.
Polarisasi opini
Polarisasi opini sebenarnya sudah terjadi sejak dua dekade lalu saat media massa berkembang sangat pesat. Namun, ia menjadi semakin ekstrem sejak kemunculan internet. Mengapa?
Pekan lalu Gizmodo, blog yang fokus pada informasi desain dan teknologi, menulis laporan tentang bias pada sistem seleksi informasi Facebook. Laporan tersebut merujuk pada wawancara anonim mantan kurator informasi Facebook dan segera dibantah oleh CEO Facebook Mark Zuckerberg.Laporan tersebut menyebutkan bahwa Facebook menyaring informasi dari kelompok konservatif AS sehingga berita dari kelompok liberal muncul lebih banyak. Disebutkan juga bahwa dalam peristiwa penyerangan Charlie Hebdo, 2015, Facebook mendorong isu tersebut agar menjadi perhatian penggunanya dan jadi trending topic.
Sejak internet dan media sosial menjadi bagian dalam keseharian kita, laman berita bukan lagi satu-satunya tempat masyarakat mendapatkan informasi. Bagi diaspora, misalnya, situs jejaring sosial, seperti Facebook adalah media utama untuk mencari informasi mengenai negara asal. Facebook yang kini juga berfungsi sebagai news aggregator lebih disukai ketimbang laman berita karena dua alasan. Pertama, karena aplikasinya ada di telepon seluler dan tampilannya lebih akrab. Kedua, karena di Facebook informasi lebih beragam—mulai dari status teman, berita terkini, hiburan, hingga opini dan sikap teman kita mengenai sebuah isu.
Perlu kita ketahui, Google dan Facebook sebagai mesin pencari dan situs jejaring sosial paling populer memiliki sistem rekomendasi yang menyesuaikan dengan perilaku berinternet kita. Pada 2011, Eli Pariser, seorang penggiat kampanye online (daring), dalam bukunya The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You, menuliskan bahwa Google dan Facebook melakukan personalisasi informasi dalam sistem rekomendasi mereka. Setiap pencarian informasi di Google akan tercatat, setiap interaksi dan perubahan profil di Facebook akan tercatat.
Nantinya, catatan inilah yang digunakan dalam merekomendasikan sebuah informasi. Pariser pernah menguji dengan cara meminta teman-temannya memasukkan kata yang sama di Google dan ternyata hasil yang diberikan mesin pencari tersebut berbeda ke setiap orang. Dengan kata lain, Google dan Facebook menciptakan gelembung informasi yang berbeda pada tiap penggunanya.
Bagi saya hal itu mengkhawatirkan. Mengapa? Bayangkan bahwa ternyata informasi yang kita dapatkan adalah informasi yang itu-itu saja, atau informasi yang sebenarnya meneguhkan pendapat dan sikap yang sudah ada selama ini. Lalu kapan kita bisa belajar ada informasi berbeda dan pendapat yang lain?
Mari kita evaluasi sejenak timeline Facebook kita masing-masing. Pernahkah Anda merasa bahwa dari sekian ratus teman di Facebook, status yang pertama kali kita lihat di urutan timeline adalah dari teman yang itu-itu saja? Teman yang lebih sering berinteraksi baik dalam bentuk saling memberi komentar ataupun likes. Tahukah bahwa iklan yang muncul di timeline Facebook sudah disesuaikan dengan profil Anda?
Keberadaan internet sebagai media penyedia informasi telah mendorong polarisasi opini publik—sebuah kondisi di mana opini terkonsentrasi pada dua titik ekstrem: pro atau kontra. Pada level tertentu, polarisasi opini dapat mendorong sikap ekstremisme dan intoleran terhadap perbedaan. Informasi yang terpersonalisasi atau gelembung informasi adalah salah satu penyebab polarisasi opini.
Peran jurnalisme daring
Penyebab lain yang membuat opini terpolarisasi adalah jurnalisme daring yang mengacu pada trending topic dan hits. Pada awal keberadaannya, internet dianggap media ideal dalam menyuarakan ide setiap orang. James Webster dalam The Marketplace of Attention (2014) menuliskan bahwa media menerapkan long tail strategy agar bisa mendapat profit. Awalnya, laman berita didirikan untuk mendapatkan ceruk pasar yang unik dan menyediakan informasi yang sangat khusus yang belum ada di media lain.
Akan tetapi, jumlah orang yang tertarik dengan informasi seperti itu sangat sedikit. Padahal, pemilik media punya kepentingan agar sebuah berita mendapatkan banyak hits sehingga bisa menarik pengiklan.
Agar bisa dapat banyak pembaca, media akhirnya menulis berita berdasarkan informasi yang sedang tren, populer, atau yang banyak mendapatkan komentar. Alih-alih menyajikan informasi yang penting dan berguna bagi masyarakat, jurnalisme daring pada akhirnya lebih banyak menyajikan informasi seputar seks, selebritas, olahraga, kriminal, dan gaya hidup. Hasilnya, ketimbang memenuhi kebutuhan informasi yang spesifik, jurnalisme akhirnya menyajikan informasi yang itu-itu saja, dan antara laman berita satu dan yang lainnya hampir seragam.
Selain itu, faktor profit dan page views juga mendorong jurnalisme daring mengangkat isu yang sensasional. Karena sensasi biasanya datang dari komentar dan argumen, serta mudah didapat, keduanyalah yang mendominasi produk jurnalisme daring. Dalam berita yang sensasional, jurnalisme akan terjebak dalam penggunaan stereotip, pemberian label, serta mengambil suara yang paling vokal di media sosial.
Jurnalis paling tidak harus menyadari bahwa opini dan tren di media sosial tidak menggambarkan opini masyarakat, bahkan sering kali tidak menggambarkan kejadian yang sebenarnya. Media sosial kini adalah tempat bermain para propagandis pemasaran, public relations, dan pemerintah, sehingga banyak yang berkepentingan untuk menyetir opini publik.
Dalam berbagai isu sosial, misalnya, homoseksual, paham komunis, atau pemerkosaan, jurnalisme daring cenderung memberi banyak porsi pada penekanan pro-kontra. Pengguna media sosial juga ikut membagikan berita seperti itu. Kita perlu menyadari opini tidak sebatas pro-kontra. Sebagaimana manusia diciptakan beragam, kondisi mereka pun beragam, sehingga spektrum opini juga sangat luas.
Banyak pihak yang berkepentingan untuk menguasai internet. Ingatlah bahwa opini publik yang ada di media sosial tidaklah menggambarkan opini yang sebenarnya. Saat ini, informasi bukan lagi sebatas hak, tetapi juga kewajiban. Mencari dan menyebarkan informasi yang benar dan berkualitas tidak lagi hanya tanggung jawab jurnalis, tetapi tanggung jawab kita bersama.
IKA KARLINA IDRIS, DOSEN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS PARAMADINA, MAHASISWA PROGRAM DOKTOR OHIO UNIVERSITY
Source: Kompas.com