Tulisan ini dikutip dari ‘nBASIS, 15 April 2008
oleh Shohibul Anshor Siregar
Tiga variable utama dalam setiap event pemilihan langsung yakni Figur, Networking dan Budgetting. Ketiga-tiganya harus berinteraksi secara serasi untuk memastikan peluang kemenangan pasangan kandidat. Salah satu pincang yang lain bisa tak bekerja maksimal dalam sistem.
Tingkat rasionalitas pemilih memang amat menentukan juga. Tetapi meskipun demikian, selamanya figur menempati pengaruh yang amat besar. Figur itu memang hanyalah sosok, ya sosok. Bagaimana image yang muncul dari masyarakat ketika menyebut atau bertemu dan berinteraksi dengan seseorang, kurang lebih seperti itu konsepsi yang kita maksudkan. Jadi figur disini adalah semacam faktor yang lebih ditentukan oleh sesuatu yang dapat disebut given (bawaan). Seseorang lahir sebagai orang Jawa atau orang apa saja, itu adalah given. Begitu juga seseorang terlahir sebagai perempuan, itu juga given. Tidak pernah diminta oleh seseorang agar dirinya terlahir sebagai orang tampan dan ganteng, ya itu juga given. Ascribed status, itu istilah lain untuk hal ini.
Tetapi di balik itu juga terdapat unsur lain yang menentukan daya tarik figur, yakni hal-hal yang terkait dengan kemampuan (achieved). Bukankah anda pernah bertemu dengan seseorang yang cantik dan anda langsung tertarik, tetapi setelah dilawan bercerita akhirnya anda menjadi hambar karena kualitas SDM-nya amat mengecewakan? Jadi meskipun figur itu sesuatu cerita yang bertalian dengan tampilan ascribed, tetapi juga terdapat unsur achieved yang terdiri dari cerita panjang tentang kapabilitas seseorang. Faktor figur amat menentukan dalam pemilihan langsung, tidak dapat dipungkiri.
Networking (jaringan) adalah partai jika ia sehat dan tidak punya tendensi mencari keuntungan sendiri di sela-sela hiruk-pikuk kesulitan yang mendera calon yang diusung. Banyak sekali faktor-faktor imperatif (terpaksa) yang dihadapkan kepada calon sebagai penumpang dalam “perahu” parpol, dan ia tak berdaya menolak itu. Jika tendensi parpol sudah sedemikian itu, maka ia bukan lagi berstatus jaringan yang dapat diandalkan untuk kemenangan. Contoh klasik tentulah Golkar untuk kasus Wiranto yang kandas karena parpol itu tidak bisa diajak bekerja sebagai mesin politik pemenangan.
Apa yang harus dilakukan oleh calon dalam kondisi seperti itu? Bentuk sendiri jaringan, betapapun sulitnya. Soal waktu akan berpengaruh di sini. Mungkinkah dalam waktu relatif singkat (kurang lebih 2 bulan) seseorang calon dapat merekrut orang-orang terpercaya dan terlatih untuk menjadi tim pemenangan yang sesungguhnya? Bolehlah dicoba, dan hati-hati dengan tokoh-tokoh gadungan yang bisa mengklaim memiliki ribuan massa di belakangnya.
Organisasi-organisasi formal yang mapan juga sering dianggap sebagai jaringan efektif dan dibayar mahal. Tetapi banyak pengalaman menunjukkan penipuan manis di seputar organisasi formal seperti itu. Berkumpul di suatu tempat, berdoa bersama-sama, lalu uang pun diberi dan tidak ada hasil. Jaringan itu mahal, karena di samping secara material harus dibiayai untuk membangun, begitu pun untuk menggerakkannya.
Faktor terakhir dalam pemilihan langsung ialah budgetting. Tidak mungkin figur yang sebaik apa pun memenangkan pemilihan tanpa jaringan pemasaran yang dibiayai oleh sejumlah besar uang. Hal yang terakhir itu belakangan ini menjadi sedemikian fluktuatif dan bahkan cenderung meningkat tanpa batas. Orang menjadi sadar atas peran dirinya sebagai penentu kememangan orang lain sehingga seolah menjadi wajar muncul tarif. Dalam batas wajar kita sebut sebagai political cost, sesuatu yang memang harus dikeluarkan sebagai konsekuensi saja.
Tetapi sudah tidak dapat lagi dikatakan sebagai cost yang wajar jika telah melebihi standar normal dan sudah cenderung sebagai transaksi politik pembelian suara (money politic). Hati-hatilah bermain. Negeri ini harus kita wariskan dalam keadaan yang amat terhormat kepada anak cucu kita yang memang kita inginkan menjadi kalangan terhormat di mata dunia. Tidak mungkin kepemimpinan yang dihasilkan melalui money politic mewariskan sejarah yang terhormat kepada pewaris yang terhormat pula. (*)
Kalimat penutup “Tidak mungkin kepemimpinan yang dihasilkan melalui money politic mewariskan sejarah yang terhormat kepada pewaris yang terhormat pula” membuat saya berfikir bahwa Anda bukan seorang konsultan politik, melainkan seorang pendidik. Saya ingin berkenalan dengan anda dan diskusi mengenai demokrasi di negara yang sakit parah.
Kalimat penutup anda membuat saya berkesimpulan “tidak ada rezim terpercaya di negeri ini (nasional) maupun lokal, karena semuanya haus kekuasaan yang cuma mengandalkan uang di tengah kemelaratan bangsa kuli (Indonesia).
Mohon alamat dan nomor terlefon anda. Terimakasih