Pengumuman pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri, Senin, 2 Juni 2008, tentang pemenang pilkada di Provinsi Maluku Utara dapat meredakan kemelut di daerah tersebut jika dilakukan dengan lebih tegas dan jelas.
Penegasan itu harus dinyatakan secara gamblang bahwa tugas pemerintah hanya melaksanakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya keputusan Mahkamah Agung.
UU tersebut secara eksplisit mengatur kewenangan menetapkan pemenang pilkada adalah Komisi Pemilihan Umum daerah atau KPUD. Hasil tersebut kemudian diserahkan kepada DPRD agar diteruskan kepada Mendagri untuk dilaporkan kepada Presiden guna mendapatkan pengesahan. Oleh sebab itu, DPRD, Mendagri, dan bahkan Presiden bukan institusi yang menentukan siapa pemenang pilkada.
Presiden bahkan hanya dapat mengesahkan dan tidak dapat menentukan calon lain yang telah ditetapkan KPUD.
Dalam kasus Provinsi Maluku Utara (Malut) terjadi sengketa suara. Mahkamah Agung telah memutuskan beberapa hal. Pertama, membatalkan Keputusan KPU No 152/SK/KPU/Tahun 2007 pada 19 November 2007 dan No 158/SK/KPU/Tahun 2007 tanggal 26 November 2007 yang menetapkan salah satu pasangan menjadi pemenang pilkada.
Hal itu didasarkan karena pengambilalihan kewenangan KPUD oleh KPU berdasarkan Pasal 122 Ayat 1 maupun Ayat 3 UU No 22/2007 cacat yuridis sehingga segala bentuk keputusan dan produk hukum yang bersifat derivatif tidak sah dan harus dibatalkan.
Kedua, memerintahkan KPU Provinsi Malut melakukan penghitungan ulang di tiga kecamatan bermasalah di Kabupaten Halmahera Barat.
Ketiga, fatwa MA tanggal 10 Maret 2008 menyatakan, eksekusi penghitungan ulang jumlah suara yang dianggap sesuai prosedur yuridis adalah yang dilakukan di Bidakara.
Karena eksekusi tersebut didahului dengan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan dan di bawah pengawasan Ketua Pengadilan Tinggi Malut selaku penanggung jawab pelaksanaan putusan MA, hasilnya memenangkan Thaib Armaiyn dan Abdul Gani Kasuba.
Selain itu, fatwa MA melalui surat Nomor 099/KMA/V/2008, 14 Mei 2008, menegaskan, pemerintah mempunyai kewenangan diskresi menyelesaikan masalah Pilkada Malut. Atas dasar UU No 32/2004 dan putusan serta fatwa MA itu, diumumkanlah Thaib Armaiyn dan Abdul Gani sebagai pemenang.
Makin rumit
Persoalan menjadi rumit karena beberapa sebab. Pertama, Presiden tidak segera mengesahkan pasangan pemenang, bahkan memberikan kesan ”cuci tangan” dengan pengumuman tersebut, yang mustahil tanpa sepengetahuan Presiden. Akibatnya, keadaan kian tak menentu, terjadi bentrok fisik di antara kedua kubu yang dikhawatirkan berkembang menjadi kekerasan sosial.
Berkembang spekulasi bahwa Presiden membiarkan putusan tersebut tidak segera disahkan karena ingin menjajaki akseptabilitas atau resistensi dua kubu yang berlawanan. Sekiranya tidak terjadi perlawanan, Presiden diperkirakan akan segera mengesahkan dan melantik pasangan calon pemenang. Namun, kalau terjadi perlawanan, Presiden diduga membiarkan kasus Malut selesai secara ”alamiah” sebagaimana kasus Provinsi Lampung.
Sikap ini tidak saja sangat merugikan masyarakat, tetapi juga semakin terkesan ketidaktegasan Presiden. Seharusnya setelah pengumuman, Presiden segera mengesahkan pemenang pilkada agar terdapat kepastian hukum dan mencegah agar situasi tidak berkembang menjadi anarki.
Kekecewaan Golkar
Alasan kedua, perlawanan dan kekecewaan petinggi parpol pendukung Abdul Gafur-Abd Rahim Fabanyo, terutama Partai Golkar sebagaimana disuarakan ketua fraksi dan ketua dewan penasihatnya secara terbuka. Itu menunjukkan pula meningkatnya ketidakpuasan mereka terhadap SBY.
Selama ini mereka menganggap Partai Golkar hanya sebagai pemadam kebakaran kebijakan pemerintah. Di sisi lain, publik juga banyak mendengar bahwa Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Partai Golkar merasa risi dengan ”tekanan” internalnya agar ia segera melepaskan diri dari SBY jika Partai Golkar ingin meningkatkan kemenangannya dalam Pemilu 2009.
Oleh karena itu, pernyataan Kalla akhir Mei 2008 yang mempersilakan SBY untuk memilih calon wakil presiden pada pemilu presiden 2009 (Kompas, 31/5) dianggap sebagai manifestasi kekecewaan Partai Golkar terhadap SBY.
Pengumuman pemenang pilkada semakin menyulitkan posisi Kalla di hadapan kalangan internal Partai Golkar. Dapat diperkirakan, makin dekatnya pemilu, hubungan SBY dengan Golkar kian hambar. Tampaknya Golkar akan semakin mantap memilih berkibar sendiri, tanpa SBY dalam Pemilu 2009.
Tulisan ini dikutip dari kompas.com, 14 Juni 2008