Tulisan ini diambil dari ‘nBASIS, 8 April 2008
oleh: Shohibul Anshor Siregar
Partai politik (parpol) adalah salah satu pilar demokrasi. Bahkan negara yang sesungguhnya otoritarian pun sering sekali harus dikesankan demokratis dengan membentuk quasi parpol, badan yang seperti parpol meski bukan. Namun ia tak ada sangkut paut dengan kepentingan perjuangan aspirasi rakyat, melainkan tak lebih dari instrumen kekuasaan belaka untuk stabilitas politik yang diperlukan. Instrumen itu juga menjadi sarana kepentingan bagi sejumlah elit di sentral kekuasaan, untuk mengatur mekanisme kepatuhan dan bahkan ketakutan semua rakyat ketika tak tunduk pada sistem, meski seburuk apa sistem itu.
Di negara yang agak bagus tingkat pembelajaran demokrasinya, parpol semakin bermakna dalam arti semakin signifikan mempengaruhi jalannya kebijakan. Ketika parpol menjauhi rakyat, tunggulah balasannya pada saat pemilu kelak. Parpol yang tak memberi perhatian serius pada kepentingan rakyat bakal ditinggalkan, tereliminasi oleh rumus electoral treshold. Berubah menjadi parpol non peserta pemilu. Biasanya kalau sudah terpuruk begitu, tokoh-tokohnya akan menjadi pewarta tak produktif atau komentator tak bermutu atas segala sesuatu yang menurut pikirannya tidak benar dalam pemerintahan. Tetapi, saat itu ia pun sudah menjadi manusia ejekan zaman.
Tiga tahun kiprah parpol pasca pemilu 2004 pernah diteliti oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI) pimpinan Syaiful Mujani. Nyaris tak ada yang menggembirakan. Berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah seperti menaikkan harga BBM sebagai cara paling naif untuk memperoleh uang, kebijakan impor beras yang merugikan nasib petani dan lain-lain. Fakta ini mungkin yang membuat parpol-parpol baru merasa optimis untuk mendapat sambutan di masyarakat. Jadi, kemungkinan akan ada parpol baru yang besar, dan akan ada parpol lama yang akan menjadi semacam partai lokal (nama nasional tetapi pendukungnya terbatas pada tingkat lokal).
Hal lain yang menjadi titik sorotan dalam kehidupan parpol saat ini di Indonesia ialah hegemoni yang dibangun. Jakartalah sesungguhnya pemilik partai itu, sebab di daerah Jakarta hanya mimiliki cabang ansich (yang tak punya kewenangan) meskipun era sudah otonomi.
Khusus menghadapi Pilgubsu 2008, masalah pun tak terhindari lagi. Jakarta yang menentukan siapa Calon Gubernur dari PDIP yang mengakibatkan Rudolf Matzuoka Pardede merasa direndahkan hingga tak menjamin akan ada dukungan dari orang-orangnya untuk Tri Tamtomo Panggabean. Jakarta yang menentukan calon Gubernur untuk PAN sehingga kisrush internal tidak dapat dicegah. Jakarta pula yang menentukan bukan kadernya RE Siahaan yang menjadi calon Gubernur dari Partai Demokrat, hingga kemungkinan besar sekali pembelotan yang akan terjadi terhadap Abdul Wahab Dalimunthe yang menjadi calon dari Parpol itu.
Parpol seperti Golkar kali ini memang lain, orang daerah yang paling mempengaruhi Calon Gubernurnya ialah Ketua parpol sendiri, yakni Ali Umri. Tetapi ia bukan tak punya masalah lain yang juga terkait dengan ketidak-ihlasan orang-orang lokal terhadap legitimasi pusat terhadap Ali Umri. Abdul Wahab adalah orang struktural di Golkar, begitu juga Syamsul Arifin. Belum kita sebut orang-orang yang pergi diam-diam ke kubu orang lain.
Akhirnya parpol itu tak lebih sebagai perahu, dibayar dan selanjutnya menangkanlah diri sendiri. Terlalu ekstrimkah pernyataan ini? Kalau percaya bahwa parpollah yang menentukan kemenangan dalam suatu pemilihan langsung seperti yang akan kita hadapi tanggal 16 April 2008 yang akan datang, maka hari ini Presiden kita adalah Wiranto karena ia diusung oleh parpol pemenang Pemilu, yakni Golkar. Jadi, bekerjalah memenangkan diri sendiri. Tetapi harus dengan art dan science sehingga parpol tidak berbalik menjadi lawan yang bekerja dari dalam.
Shohibul Anshor Siregar
Koordinator ‘nBASIS
Dosen Sosiologi Politik FISIP UMSU Medan
Searang ada 7 Kabupaten sedang siap-siap untuk pilkada di Sumut. Apa komentar pak dosen mengenai itu?