MENJELASKAN politik memang sangat rumit. Kadang antara teori dengan fakta tidak berbanding lurus.Dimana teori menjelaskan sebuah perangkat pengetahuan yang begitu ribet dengan berbagai sistemnya: ada epistemologi, epitemologi dan aksiologi. Akan tetapi pada realitasnya, tidak berfungsi seutuhnya seperti bangunan pengetahuan yang dikehendaki oleh para penemu teori-teori tersebut.
Memang antara teori dan realitas tidak pernah singkron. Terkadang realitas cepat duluan berlari dari pada konsep-konsep yang harus diperdebatkan. Realitas itu kaitanya dengan insting seseorang untuk mencapai tujuan, sedangkan konsepsi adalah merangkum seluruh kebenaran dari berbagai perorangan untuk disatukan menjadi bangunan baru pengetahuan, yang tentunya dianggap sebagai kebenaran.
Hal inilah yang kemudian bisa kita bedakan, mengapa teori dan realitas politik akan berbeda pada seni, pada ruang, juga waktu yang membungkus apa yang kita sebut “realitas”.
Seperti itu juga realitas kekuasaan, karena antara kekuasaan dan politik tentunya mempunyai akar atau sumber pemahaman yang satu. Kekuasaan lebih mengartikulasikan terhadap apa yang didapatkan dari akhir tujuan, sedangkan politik lebih menjadi sebuah perangkat yang kemudian menjadi arah jalan, arah petunjuk dan juga sebagai pengaman yang akan dijadikan objek tujuan.
Oleh karenanya, bicara politik tentunya akan timbul pertanyaan seperti apa yang dituju, apa yang didapat, apa yang dihasilkan dan pertayaan-pertayaan tersebut menuju pada satu titik fokus yang disebut dengan kekuasaan.
Kita mungkin bisa melihat tentang teori Machivelian, yang membikin dua buku sehingga menjadi sumber rujukan banyak para akademisi ilmu politik, intelektual ilmu politik dan kekuasaan, para pemerhati dan para politisi sendiri untuk melihat realitas politik.
Buku pertama yang dibikin adalah politik kekuasaan dan yang kedua adalah politik kerakyatan. Di kedua bukunya, Macheveli menjelaskan tentang cara, strategi serta berbagai pengetahuan tentang “Politik”.
Kita juga bisa melihat tentang Seni Perang Sun-Tzu, dimana teori ini juga banyak digunakan oleh kalangan untuk juga menilai politik serta situasi politik diberbagai situasi.
Ini artinya, bahwa politik dan kekuasaan adalah dua barang yang menjadi tujuan dari perdagangan kekuasaan agar bisa diraih, makanya kemudian diperlukan dalam poltik apa yang disebut dengan marketing politik.
Istilah ekonomi ini diambil untuk menjelaskan, bagaimana politik diperlakukan ibarat makanan yang dijajakan dengan aromanya yang menggoda. Aroma tersebut bisa berbentuk visi dan misi, perangkat sistem kemenangannya, tentang biografi personal, serta bagaimana sistem agar kemenangannya tersebut bisa dilakukan.
Semua proses perangkat dari politik secara anatomi, merupakan lompatan cepat dari komunikasi yang harus disampaikan. Mengapa hal itu terjadi? Sedangkan pengetahuan sebelumnya hanya milik para penguasa sistem kepartaian.
Jawabaannya sederhana, karena pengetahuan itu sudah menyebar kepada rakyat. Artinya rakyat menggeser pengetahuannya untuk memahami politik secara lebih realistis dan lebih baik.
Seni Baru Politik: Sebagai Marketing Dagang?
Nah, pada posisi ini politik mempunyai sesuatu yang menyegarkan dan lebih mempunyai pakaian atau pembungkus baru, yaitu “Marketing Politik”.
Marketing politik adalah variasi dari kebijakan komunikasi pemasaran untuk mempromosikan seorang atau proyek politik, dengan menggunakan model teknik pemasaran komersial, yang dapat digunakan oleh organisasi-organisasi politik untuk pencapaian tujuan, kita menyebutnya PROPAGANDA.
Arifin Anwar dalam buku Komunikasi Politik Filsafat, Paradigma, Teori, Tujuan Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011) menjelaskan, merujuk Butler dan Collins (2001), pemasaran politik adalah konsep permanen yang harus dilakukan oleh sebuah partai politik, politikus, atau kontestan dalam membangun kepercayaanan citra publik. Publik akan mencatat dan menyimpan dalam memorinya semua kegiatan politik, wacana politik, dan kepedulian kepada masyarakat yang telah dilakukan atau dikerjakan oleh partai politik atau politikus secara individual. Hal itu akan diingat terus oleh publik pada saat akan memberikan suaranya dalam pemilihan umum.
Dalam konsepsi yang dikatakan seperti di atas, politik juga menggunakan apa yang disebut tentang konsep agitasi dan propaganda, dimana Agitasi memfokuskan diri pada sebuah isu aktual, berupaya ‘mendorong’ suatu tindakan terhadap isu tersebut. Propaganda berurusan dengan penjelasan gagasan-gagasan secara rinci dan lebih sistematis.
Dan hal itu, semuanya membutuhkan apa yang disebut dengan “corong komunikasi”. Melalui sumber-sumber sentral informasi, maka marketing politik ini bekerja sesuai dengan tujuan dan kepentingannya. Jelasnya, dengan mengupayakan sentral informasi dan komunikasi, program-program politik dengan menggunakan teori marketing akan berjalan. Lantas siapa yang harus dijadikan tujuan tersebut? tentunya adalah media.
Dimana media merupakan bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan informasi atau pesan bagi banyak orang menjadi “sangat sesuatu sekali”, kemudian politik menjamah media sebagai alat melakukan propaganda dan agitasi.
Media sebagai Industri
Jika diperhatikan selama ini, pertumbuhan media massa di Indonesia diperkirakan belum mencapai titik klimaks. Hal ini karena masih dimungkinkan munculnya media-media baru, baik media elektronik maupun media cetak. Apalagi perkembangan media massa juga selalu mengikuti arus dinamika masyarakat. Dinamika masyarakat ini menjadi fokus media massa untuk memposisikan diri pada satu spesialisasi.
Pertumbuhan ekonomi telah membawa efek secara langsung dalam struktur media, sehingga ini menuntut munculnya spesialisasi sektor media. Sebagaimana yang dianalogikannya kebutuhan akan pertumbuhan bisnis dan perkembangan keuangan ‘Up to Date Business’ dan informasi ekonomi yang sekarang dapat dilihat dari surat kabar yang khusus mengangkat tentang isu-isu ekonomi, bisnis dan isu perdagangan dan perumahan. Media tersebut seperti Bisnis Indonesia, Swa, Property, Info Bank, Info Bisnis, Warta Ekonomi, Indonesia Bisnis dan Indonesia Review serta Indonesia Business Weekly. Begitu juga dengan media elektronika, stasiun radio swasta banyak berkembang di daerah-daerah dan juga di Jakarta, juga dengan adanya stasiun televisi swasta seperti RCTI, SCTV, TPI, INDOSIAR, ANTV, Metro Tv, Lativi, TRANS 7. Media elektronika terspesialisasi dalam bentuk-bentuk program siaran.
Melihat perkembangan media yang sangat pesat, maka menjadi wajar bahwa pergerakan politik sebagai “alat” akan bertemu alurnya dengan apa yang disebut ekonomi, bisnis dan kepentingan-kepentingan lainnya.
Kepentingan ini tidak bisa berdiri sendiri, karena di dalam politik ada yang disebut dengan fundraising. Hal itu dilakukan untuk melakukan pembiayaan agar kemudian mesin politik dan kendarannya berjalan secara baik, sehingga apa yang disebutkan dengan tujuan akan tercapai dengan berbagai konsep dan strategi, serta pendanaan yang memang dibutuhkan.
Sama juga dengan apa yang disebut dengan industri. Berbicara hal ini adalah artinya bicara benefit (imbas jasa), sebuah bentuk balas jasa atau dasar kebutuhan yang berguna untuk memperlancar proses kerja. Sama halnya dengan seseorang yang menjadi reseller suatu barang, maka ia akan mendapatkan benefit (imbal jasa) dari menewarkan barang. Namun sebenernya benefit sama seperti Kompensasi, mengandung arti mencakup balas jasa.
Maka kemudian, ketika menempatkan media pada proses industrialisasi maka komersialisasi akan mencakup dalam segala proses kerja yang akan berlangsung. Hal ini tidak bisa dipungkiri, karena era dan zamanya menjadikan idustrialisasi sebagai kehidupan bernegara dan berbangsa saat ini. Wallahu A’lam Bishawab.
* BINTANG IRIANTO
Source: citrust.id