Bandung, Kompas – Rancangan Undang-Undang Pemilihan Presiden diperkirakan rampung pada pekan ketiga bulan Agustus. Salah satu materi yang alot dibahas adalah persentase suara minimal yang dimiliki partai politik atau gabungan partai politik dalam mengusung bakal calon presiden.
Ketua Panitia Khusus RUU Pemilihan Presiden Ferry Mursyidan Baldan mengatakan hal itu di Bandung, Kamis (26/6). ”Yang masih alot itu soal persentase suara dukungan. Sekarang mengerucut di rentangan angka 10 persen sampai 30 persen. Saya berharap ini bisa diselesaikan dalam lobi,” ujarnya.
Ferry mengungkapkan, Fraksi Golkar sendiri mengusulkan agar batas minimal suara yang dimiliki parpol atau gabungan parpol untuk mengusung bakal calon presiden adalah 30 persen. Dengan angka ini, memang tidak mungkin ada parpol yang bisa mengusung bakal calon presiden tanpa koalisi. ”Ini memang tujuannya. Jangan sampai ada parpol yang maju sendirian,” kata Ferry.
Menurut dia, presiden merupakan pusat kekuasaan. Jika hanya diusung oleh satu parpol, dikhawatirkan terjadi eksklusi kekuasaan. Untuk mengantisipasi potensi bagi-bagi kekuasaan oleh koalisi parpol, perlu dilakukan kontrak politik tertulis bermeterai.
Secara terpisah, pengamat politik Fadjroel Rachman mengatakan, semestinya yang harus dikedepankan itu bukan dukungan minimal oleh parpol, melainkan koalisi permanen. Selama ini, parpol pengusung presiden terpilih malah sibuk dengan kepentingan masing-masing. Parpol pengusung presiden terpilih malah tidak mendukung kebijakan presiden. ”Yang penting itu, bagaimana membangun koalisi permanen dalam sistem pemerintahan yang presidensial tetapi parlementer seperti Indonesia ini,” katanya.
Menurut Fadjroel, dalam pemilu, parpol harus berjanji bahwa mereka siap berkoalisi selama lima tahun ke depan. Koalisi jangan sampai hanya memikirkan cara memenangkan calon presidennya. Mereka harus berpegang pada program yang sama yang harus diperjuangkan selama presidennya berkuasa.
Selain soal suara, Pansus RUU Pemilihan Presiden masih alot membahas sanksi pelanggaran dana kampanye. ”Apakah pelanggar harus membayar denda, menghentikan kampanye, atau didiskualifikasi, itu yang masih dibahas secara detail. Tetapi, jenis-jenis pelanggaran dana kampanye sudah jelas,” lanjutnya.
Ferry mengatakan, bakal calon presiden tidak boleh menerima dana dari luar negeri, penyumbang tanpa nama (anonim), BUMN, ataupun BUMD. Batas sumbangan perorangan maksimal Rp 1 miliar dan lembaga maksimal Rp 5 miliar.
Pansus RUU Pemilihan Presiden, kata Ferry, telah menyepakati, incumbent (calon yang masih menjabat) tidak perlu mundur dari jabatannya saat mencalonkan diri menjadi presiden atau wakil presiden. Mereka hanya diberi hak cuti kampanye dan dilarang menggunakan fasilitas negara selama kampanye. (MHF)
Tulisan ini dikutip dari kompas.com