Jakarta, Kompas – Upaya pencegahan politikus lompat pagar tidak bisa dilakukan dengan membuat aturan dalam undang-undang. Kontrak politik diyakini menjadi salah satu cara partai politik untuk mengikat kepala daerah yang diusung agar tidak pindah ke partai politik lain.
Cara itulah yang dilakukan Partai Amanat Nasional (PAN). ”Karena PAN bukan partai rental dalam pemilu kepala daerah, ada kontrak politik untuk mengikat calon kepala daerah yang diusung,” kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat PAN Bidang Pemenangan Pemilu Viva Yoga Mauladi di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (31/5).
Dalam kontrak politik itu, calon kepala daerah diminta untuk menjaga nama baik pribadi dan partai, berperilaku sesuai dengan peraturan dan kepentingan rakyat, serta memberikan pengabdian dan ikut membesarkan partai. Menurut Viva, kontrak politik merupakan kontrak moral sehingga jika dilanggar akan mendapatkan sanksi moral.
Partai Kebangkitan Bangsa, ujar anggota Komisi II DPR dari F-PKB, Abdul Malik Haramain, akan mengusulkan ketentuan aktif selama tiga hingga lima tahun di parpol sebagai salah satu persyaratan seseorang maju dalam pilkada. Persyaratan itu akan mempersulit kepala daerah yang pindah ke parpol lain demi mempertahankan kekuasaan. ”Kalau pakai aturan itu, pada periode keduanya dia tidak akan bisa pindah ke partai lain,” katanya.
Menurut Ketua F-PKB Marwan Jafar, parpol bisa mengerem perilaku perpindahan kader demi kekuasaan dengan cara membuat jenjang kaderisasi partai. ”Pindah partai memang hak setiap orang. Tetapi, kita berkepentingan untuk mewujudkan politik adiluhung yang bermartabat,” kata Hanif Dhakiri, anggota F-PKB.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto menuturkan, partainya berusaha mencegah kadernya lompat pagar dengan lebih memprioritaskan mengusung kader karena mereka cenderung memiliki loyalitas tinggi terhadap partai.
Saat pilkada, lanjut Hasto, PDI-P juga mengerahkan semua kadernya, baik yang ada di legislatif maupun pengurus partai untuk bahu-membahu mendukung calon yang diusung partai. Dengan demikian, ketika calon yang diusung itu menang, diharapkan memiliki ikatan emosional yang lebih kuat dengan kader PDI-P sehingga menjadi enggan melompat ke partai lain.
”PDI-P juga membuat kontrak politik dengan setiap calon yang diusung, agar menjalankan garis kebijakan partai seperti memajukan ekonomi kerakyatan. Jika kontrak dilanggar, partai dapat mencabut dukungan,” ujar dia.
Partai Golkar memilih memperkuat ideologi partai untuk mengantisipasi politikus yang pindah ke parpol lain. Sistem distribusi elite dibenahi. Komunikasi pun diintensifkan.
Menurut Sekjen DPP Partai Golkar Idrus Marham, ada kesenjangan ideologi dalam perjuangan politik. Oleh karena itu, penguatan ideologi, kaderisasi, dan pendidikan politik gencar dilakukan akhir-akhir ini. Di sisi lain, sistem meritokrasi dipertimbangkan kembali untuk distribusi kader sebagai elite partai. Itu karena banyak kader lompat pagar karena merasa diperlakukan tidak adil. Partai Golkar pun sudah menerapkan kontrak politik dengan kader yang menjadi kandidat kepala daerah.
Untuk menghadang politikus lompat pagar itu, menurut Wakil Sekjen DPP Partai Persatuan Pembangunan M Romahurmuziy, PPP lebih mengupayakan komunikasi intensif dengan kader yang menjabat sebagai kepala/wakil kepala daerah.
Sementara itu, Gubernur Nusa Tenggara Barat Zainul Majdi mengatakan, dirinya tidak pernah menjadi pengurus Partai Bulan Bintang. Keberadaannya sebagai anggota DPR hanya sebagai anggota parpol itu dari unsur eksternal atas tawaran Ketua Umum PBB saat itu, Yusril Ihza Mahendra. ”Seumur hidup saya belum pernah menjadi kader, apalagi menjadi pengurus partai, kecuali sekarang di Demokrat (Partai Demokrat),” ujar Zainul.
(NTA/ADH/BIL/NWO/INA/RUL/FAJ/LOK)
Source : Kompas.com