Home > Education > Political Marketing > Bukan Rumah Tandzim Al Qoidah

Bagi Kubang (28) alias Mustafaruddin, mantan anggota pasukan bersenjata Gerakan Aceh Merdeka, perjuangannya masih jauh dari usai. Perdamaian yang ditandatangani perwakilan GAM dan Pemerintah Republik Indonesia pada 2005 bukanlah perdamaiannya.

Ketika mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) lain bergabung dalam organisasi Komite Peralihan Aceh dan menikmati dana reintegrasi, Kubang pun menolak bergabung.

”Saat pertama ikut GAM pada 1998, saya disumpah, darah, harta untuk kemerdekaan demi rakyat Aceh. Bagi saya, sumpah itu pantang dicabut,” kata lelaki asal Sawang, Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), itu. Ia adalah panglima Pasukan Pedang, pasukan yang dibentuk pasca-perjanjian damai. Anggotanya adalah mantan anggota GAM yang menolak berdamai.

Tokoh gerakan Pasukan Pedang adalah Badruddin, yang awalnya menyerukan kepada pengikutnya agar tak mengikuti jejak petinggi GAM yang menguasai ekonomi secara masif pasca-perdamaian. Badruddin tewas ditembak pada 27 Desember 2007. Sebagian pengikutnya memiliki persinggungan dengan kelompok Teungku Bantaqiah dari Beutung Ateuh, Aceh Barat, atau yang lebih dikenal Kelompok Jubah Hitam, termasuk Kubang. ”Saya dulu ikut tarekat di Dayah Teungku Bantaqiah selama enam bulan,” katanya.

Kubang menyebutkan, pelaku penembakan terhadap Badruddin adalah dua mantan anggota GAM yang telah menikmati perdamaian dan bergabung dengan Komite Peralihan Aceh. Anak buah Badruddin memburu keduanya, menangkap, dan menyiksanya.

Menemui Kubang dari balik penjara Lhoksukon, Aceh Utara, seperti menemui anggota GAM pada masa peperangan dulu. Tubuhnya liat, sorot mata tajam berkilat, dan rambut panjangnya digelung. Bicaranya berapi-api, terutama saat menyebutkan tentang kemerdekaan Aceh.

Setelah menjadi buron, pada 2009 Kubang ditangkap dan diganjar hukuman 2,9 tahun dengan tuduhan penculikan terhadap Andrian Moreer, warga Perancis, September 2008. Konsultan Bank Dunia itu diculik tujuh anggota Pasukan Pedang di Desa Punteut, Kecamatan Sawang, yang dipimpin Kubang. Andrian dan sopirnya sempat disekap semalam di pedalaman Sawang, dan hartanya, uang tunai 3.300 dollar AS, 1 laptop, 2 telepon seluler, 1 jam tangan, dan ATM Bank BCA, serta mobil Toyota Innova BK 1920 HN yang digunakan korban digasak pelaku.

Namun, Kubang berdalih, penculikan itu untuk menunjukkan kepada dunia internasional, masih ada kelompok yang belum puas dengan perjanjian damai.

Dalam penjara, Kubang bertemu dengan beberapa mantan anggota GAM lain, salah satunya adalah Teuku Sayed Azhar (30), terpidana sembilan bulan penjara dengan tuduhan kepemilikan senjata tajam yang juga berasal dari Sawang. Dia ditangkap seusai berunjuk rasa minta percepatan pembangunan jalan di desanya. ”Lebih dari 30 persen penghuni penjara di Lhoksukon adalah mantan GAM. Rata-rata kasusnya perampokan dan kepemilikan senjata,” katanya.

Sayed juga kecewa dengan mantan petinggi GAM yang dinilai tidak hirau dengan nasib mantan anak buahnya. ”Kami tak pernah menikmati dana reintegrasi. Petinggi itu hanya peduli dengan nasib sendiri. Sebagian berlomba-lomba kawin lagi dan main proyek. Jika kondisi tak berubah, penjara di Aceh akan dipenuhi mantan pasukan GAM,” ujarnya. Sayed menyebut seorang mantan petinggi GAM yang memiliki kebun puluhan hektar, sementara anak buahnya dililit kemiskinan dan kesulitan mencari kerja.

Sayed, bapak satu anak itu, bekas anggota pasukan GAM wilayah Deli dan Aceh Timur. Masuk GAM sejak usia 17 tahun, ia berkualifikasi pasukan komando. Dia berada di balik aksi peledakan di Medan semasa konflik. Tertangkap, Sayed masuk ke Penjara Tanjung Gusta, Medan, 2003. Vonis 12 tahun hanya dijalaninya sampai 2006, seiring dengan perjanjian damai Helsinki. Tiga tahun kemudian ia harus kembali mendekam di penjara dengan tuduhan kepemilikan senjata tajam.

Sayed dan Kubang masih menyimpan semangat perlawanan. ”Tetapi, bukan perlawanan seperti yang dilakukan teroris dari Jawa itu,” kata Kubang.

Kubang menambahkan, kelompoknya memiliki tujuan sendiri. ”Kami setuju dengan syariat Islam, tetapi sebatas di Aceh. Tujuan utama kami memerdekakan Aceh. Kami tak memiliki hubungan apa pun dengan teroris itu,” lanjutnya.

Satu-satunya pertalian Kubang dalam masalah teroris adalah hubungannya dengan Raja Rimba atau Kamaruddin (37). Raja Rimba adalah mantan Panglima Sagoe GAM di wilayah Lamleupung, Kecamatan Kuta Cotgle, Aceh Besar. Ia ditembak mati oleh polisi di Jalin, Janto, tak jauh dari lokasi pelatihan kelompok teroris itu.

”Sejak perjanjian damai, saya beberapa kali berhubungan dengan Raja Rimba. Kami memiliki pandangan yang sama. Tetapi, saya tak percaya dia ikut teroris itu. Mungkin ada yang memfitnah dengan menghubungkan teroris di Aceh dengan kelompok kami,” kata Kubang.

Laili Fajri (25), istri Raja Rimba, mengatakan, suaminya pergi ke perbukitan Jalin untuk memancing ikan bersama beberapa kawannya, termasuk Kepala Desa Lamleupung. ”Ia tidak mungkin terlibat teroris,” katanya.

Sekat ideologis

Sekat ideologis itu dipahami betul oleh Gubernur NAD Irwandi Yusuf yang juga mantan petinggi GAM. Karena itu, tidak berselang lama setelah meletusnya kontak senjata dengan kelompok bersenjata yang menyebut dirinya Tandzim Al Qoidah Indonesia Cabang Serambi Mekah, dia tegas mengatakan, GAM sama sekali tak terlibat dengan gerakan itu.

Dalam konferensi pers di Jakarta, 9 Maret, Irwandi mengatakan, gerakan terorisme di wilayahnya bukan asli buatan rakyat Aceh. ”Ini barang impor. Sampah dari Pulau Jawa dibuang ke Aceh,” katanya.

Muslim Attahiri, pemimpin Dayah (Pesantren) Darul Mujahidin di Aceh Utara, mengatakan, kesukuan di Aceh sangat kuat. ”Walau kami ingin menegakkan syariat Islam, itu bukan berarti kami ingin mendirikan negara Islam atau setuju tindakan teror yang dikendalikan orang luar Aceh. Kami pengikut ahlusunnah dan menentang gerakan wahabiyahn itu,” katanya.

Muslim dikenal gencar melakukan razia di jalanan untuk mencari pelanggar Qanun (Peraturan Daerah) Syariat Islam. Beberapa waktu lalu ia diperiksa polisi karena pernah menggelar pelatihan calon mujahidin ke Palestina tahun 2009. Beberapa calon mujahidin yang direkrutnya diketahui menjadi tersangka teroris. ”Kami memang mendukung jihad di Palestina, tetapi tidak di Aceh saat ini,” ujarnya.

Sekretaris Jenderal Himpunan Ulama Dayah Aceh Tengku Faisal Ali mengatakan, gerakan GAM selama ini bukan untuk menegakkan syariat Islam, tetapi lebih ke perjuangan kebangsaan dan faktor ekonomi. ”Syariat Islam hanya menjadi slogan GAM untuk merekrut akar rumput, berbeda dengan kelompok teroris itu yang didorong semangat negara Islam dalam konteks internasional,” katanya.

Faisal menambahkan, ”Bukan menjadi rahasia umum, slogan syariat Islam itu pula yang menyebabkan beberapa pemimpin dayah mendukung GAM.”

Setelah damai dan Aceh dipimpin mantan tokoh GAM, kata Faisal, muncul kekecewaan sebagian kalangan. Mereka yang kecewa salah satunya adalah yang dulu terpikat dengan janji syariat Islam itu. ”Ini harus diantisipasi ke depan,” katanya.

Asumsi kelompok bersenjata yang menyebut dirinya Tandzim Al Qoidah Indonesia Cabang Serambi Mekah untuk mendapatkan dukungan masyarakat Aceh, terutama dari kalangan GAM, agaknya keliru. Aceh bukanlah rumah yang cocok untuk gerakan teroris yang mengusung isu panislamisme.

Oleh Ahmad Arif dan Mahdi Muhammad

Source : Kompas.com, 20 Maret 2010

You may also like
Kebebasan Tanpa Keadilan
Memotong ‘Goblokisasi’
Indonesia Memilih, Jangan Salah Pilih
Ideologi, Pragmatisme, dan Faktor Keraton

Leave a Reply