Home > News > Opinion > Golput, dan Kampanye Retail

SEPERTI biasa, pemilihan umum kini sudah diambang pintu. Seperti biasa pula, jamu pembangunan dan berbagai resep masa depan kini mulai ditawarkan dimana-mana.. Ada janji dan ungkapan yang jujur dan realistis, ada pandangan utopis. Tak kurang pula, ada rencana dan komitmen gombal yang juga seringkali laku dijual. Tidak ada yang salah dengan tawaran dan janji masa depan itu.K arena memang begitulah mekanisme pasar demokrasi adanya.

Di sebalik kampanye dan keragaman visi masa depan yang ditawarkan, ada satu dosa kolektif yang seringkali dilakukan, terutama dalam kaitannya dengan strategi persuasi dan kampanye untuk mendapat suara sebanyak mungkin. Kampanye, seperti biasanya, dimanapun di dunia, seringkali lebih bernuansa upaya mempengaruhi pemilih dengan segala cara, sedapatnya mematuhi ketentuan dan aturan yang berlaku. Tidak jarang ada asumsi-asusmsi yang digunakan secara sengaja atau tidak sengaja yang memperlakukan publik pada posisi “bodoh”, atau dapat “dibodohi”. Ada pula yang menganggap pemilih telah menderita penyakit “lupa kolektif” terhadap kejadian masa lalu yang telah dilakukan oleh partai politik ataupun individu.

Reaksi keras yang mulai timbul dari pemilih juga tidak kurang. Bahkan mulai setimpal dengan pola yang ditempuh oleh partai politik ataupun calon anggota legislator. Pada satu ujung sering ditemui sikap apatis dan pesimis publik terhadap perobahan. Pada ujung yang lain, “kepandaian” partai dan politisi, seringkali dibalas dengan “kepandaian” yang sama oleh para pemilih dengan cara memperdagangkan suara. Ini bukan sesuatu yang sangat baru. Ini adalah fenomena umum yang utamanya ditemui di Negara-negara “demokrasi muda”, seperti di Amerika Latin, Asia, dan Afrika.

Apatisme dan kampanye retail
Sering kita temui ada partai-partai atau individu yang secara praktis mempunyai visi untuk perubahan dan mampu untuk membuat perobahan, akan tetapi karena gelombang apatis dan pesimis yang telah menggejala, kehadiran mereka diterkam oleh gelombang sinisme publik. Lautan sikap apatis dan pesimis itu telah mulai dirasakan di banyak tempat di Indonesia, terutama pada beberapa pemilihan beberapa kepala daerah di Jawa. Jumlah pemilih yang mengambil posisi tidak memilih alias golput dilaporkan oleh berbagai lembaga survey semakin hari semakin menunjukan gejala menaik. Sikap apatis dan pesimis diikuti sikap tidak memilih pada hari pemilihan, jelas merupakan tanda demokrasi yang normal. Akan tetapi bila sikap apatis dan pesimis itu menjadi gejala yang meluas dan signifikan, ini adalah signal awal demokrasi kita sedang berjalan di tempat, untuk tidak mengatakan demokrasi kita mulai “berpenyakit”.

Kecanggihan berjanji partai dan para calon yang sering dipaketkan dengan berbagai bantuan kepada pemilih—kini mulai merebak— mulai disambut gegap gempita oleh calon pemilih. Bantuan-bantuan kecil untuk komunitas yang di dalam kamus politik awam dahulunya sering digolongkan dalam taksonomi “biaya politik”, oleh sebagian publik yang “cerdas” secara sendiri, ataupun bersama aktor politik telah diubah menjadi “politik uang”. Jumlah biaya politik yang dahulunya normal, ketika dikonversi menjadi politik uang,nilainya akan menggunung. Hampir dapat dipastikan, pembayar akhir seluruh politik uang itu, jika aktor politik pelaku terpilih, adalah dana publik, dengan berbagai mekanisme yang “mungkin” dan “dimungkinkan”.

Jalan pintas oleh partai dan calon, seakan mendapat gayung bersambut. Sebagian pemilih mulai berpikir praktis, ketimbang menunggu panen pembangunan yang dijanjikan para calon yang belum pasti dan seringkali tidak pasti, lebih baik “memanen” lebih awal dari para calon. Sebagian pemilih mulai berpikir, jika mereka bisa memberi kepercayaan kepada calon, maka para calon itu tentu akan mendapat pekerjaan, dan itu menghasilkan pendapatan. Jika demikian halnya, maka tidak salah kalau mereka juga merasa berhak atas pendapatan para calon. Hebatnya, imbalan atas suara yang diberikan diminta lebih awal. Akibatnya, masa kampanye dan menjelang hari pemilihan seringkali berasosiasi dengan transaksi uang dan distribusi berbagai kebutuhan pokok kepada para pemilih yang mulai belajar “cerdik”.

Istilah “politik retail” dalam kamus politik Amerika mulai berlaku di Aceh. Kampanye retail yang dalam kampanye Barrack Obama di Amerika Serikat lebih berasosiasi dengan persentuhan langsung antara calon dengan individu dan komunitas dalam konteks visi, gagasan, dan ide pembangunan, di Aceh mulai digiring kepada retail uang dan barang barang dari calon kepada pemilih dalam jumlah yang relatif banyak. Khotbah demokrasi ideal kemudian hanya ada dalam buku-buku teks yang dihafal oleh para guru besar dan para aktivis di ruang-ruang kelas atau diskusi kelompok.

Pendidikan politik
Bermimpi untuk kehadiran satu proses pemilihan umum yang sehat dan demokratis adalah sesuatu yang utopis dan sangat tidak realistis, apalagi untuk negara transisi seperti Indonesia. Konon pula untuk Aceh yang baru saja lepas dari konflik. Pada saat yang sama, membiarkan perjalanan pemilihan umum dibayangi oleh awan mendung kebrangkutan demokrasi, terlebih lagi menjadi penyumbang terbesar kebrangkutan adalah sebuah dosa sejarah. Apalagi jika hal itu dilakukan secara sadar, terencana, dan sistematis oleh para elit partai politik.

Betapapun carut marut demokrasi yang sedang kita jalani, jalan yang kita pilih ini telah benar. Tidak membiarkan pemilihan umum untuk terseret kepada jalan yang salah, apalagi menjaga secara sistematis untuk tidak salah adalah sikap yang mesti dilakukan dan terpuji. Ini adalah tugas utama para elit politik. Pendidikan yang dapat diberikan adalah, betapapun godaan kekuasaan seringkali berayun kependulum “keiblisan”, namun politik juga dapat juga mendekati pendulum “kenabian”, atau paling kurang, tidak semua politik itu kotor.

Kampanye dan pemilihan umum sejatinya adalah fase puncak pendidikan politik untuk rakyat. Pilihan yang tersedia saat ini hanya antara mempercepat pembenaran atas tuduhan politik itu kotor, tak bermoral dan memusingkan, atau politik itu tidak seburuk yang dituduh, dan bahwa banyak hal-hal yang baik yang bisa dilakukan melalui politik. Haruslah diakui, pendidikan politik berjalan sepanjang masa, melalui realitas politik yang dilihat, dipahami, dan dirasakan oleh rakyat. Akan tetapi, tidaklah salah kesempatan yang tersedia saat ini seharusnya juga dapat digunakan sebagai arena pembelajaran politik kepada rakyat dengan cara-cara yang tidak membosankan.

Pendidikan politik yang sangat perlu diajarkan kepada rakyat Aceh adalah memperjelas kepada publik, realitas kehidupan sehari-hari yang kini sedang dihadapi. Akar masalah mestilah dijelaskan, keadaan hari ini mestilah diterangkan, bagaimana dan hendak kemana realitas itu akan ditangani, oleh para calon pemegang mandat kebijakan publik mesti dipaparkan. Inilah kontestasi yang cerdas yang mesti diperagakan oleh partai politik dan para calon legislator dengan bahasa rakyat kepada publik.

Berbagai kebijakan publik yang telah dijalankan pada level nasional, propinsi, dan kabupaten/kota oleh pemegang mandat resmi saat ini memasuki uji kesahihan politik dari rakyat. Ada pelajaran berharga dari filosof besar Yunani,Socrates, yang hidup sebelum Nabi Isa AS lahir. Kriteria menguji apakah sebuah tindakan perlu atau tidak perlu dilakukan menurut Socrates, paling kurang harus memenuhi tiga kualifikasi. Kualifikasi pertama adalah apakah sebuah tindakan itu telah benar atau dapat dibenarkan? Jika tindakan itu terbukti benar, maka kualifikasi kedua adalah apakah tindakan yang benar itu perlu dilakukan atau tidak perlu dilakukan? Kalau kemudian tindakan itu perlu dan benar untuk dilakukan, maka kualifikasi ketiga yang mesti dipenuhi adalah, apakah hal tersebut baik atau tidak baik untuk dilakukan?

Ketiga pertanyaan itu sangat perlu ditelusuri untuk menguji sejauhmana kekuasaan yang ada telah dipergunakan untuk sebesar-besar kepentingan rakyat. Dalam kontestasi politik seperti pemilu sekarang ini, sangat aneh bila semua peserta kontes sepenuhnya membenarkan pemerintah telah melaksanakan dengan baik dan benar tentang berbagai kebijakan politik, ekonomi, lingkungan, hukum, pendidikan, kesehatan, dan berbagai kebijakan lainnya. Juga sangat aneh, kalau kemudian dikatakan semua yang telah dilakukan oleh pemerintah saat ini sebagai tindakan yang salah dan bodoh. Perdebatan, dan penjelasan yang dilakukan secara cerdas tentang apa yang baik dan benar untuk dilakukan akan diuji di dalam wacana politik dan kontes politik yang terbuka oleh publik.

Kontestasi politik idealnya juga tidak semata terfokus kepada kesalahan atau kekurangan kebijakan yang sedang berjalan. Adalah kewajiban para kontestan untuk menunjukkan penyempurnaan, bahkan platform alternatif tentang kebijakan publik yang pasti akan berbeda antara satu kontestan dengan yang lainnya. Keragaman basis ideologis dan prinsip tentu akan melahirkan pula keragaman platform. Keragaman platform inilah yang akan menjadikan pemilu kita layaknya sebuah pasar demokrasi, tempat dimana rancang bangun masa lima tahun ke depan dalam bentuk mandat publik diperdagangkan.

Kimia kampanye yang berbasis emosional adalah sesuatu yang normal, baik pada masyarakat maju maupun masyarakat yang belum maju. Kontestasi ide, visi, dan platform antar kontestan adalah salah satu sarana jitu pembelajaran publik untuk menjadi pemilih yang rasional. Memang menjadi tidak realistis mengharapkan para kontestan untuk bermain di wilayah “emosional” untuk mendapatkan suara sebanyak mungkin. Logika pemenangan kadang mendikte para kontestan untuk menggunakan segala cara yang memungkinkan, kalau perlu dengan cara-cara yang “menerabas” sekalipun.

Bagi masyarakat Aceh, pemilu kali ini harus memberikan banyak perbedaan dengan pemilu sebelumnya.Pemilu kali ini disamping sebagai sarana prosedural demokrasi, juga harus menjadi infrastruktur substantif kontestasi politik untuk memperoleh mandat rakyat. Demokrasi kita harus naik kelas kali ini. Pemilu Nasional telah terjadi dua kali. Pemilihan presiden telah terjadi sekali. pemilihan kepala daerah propinsi dan kabulaten kota juga telah dialami oleh masyarakat Aceh. Tidak ada jalan lain untuk naik kelas demokrasi kali ini, kecuali para peserta pemilu dan rakyat Aceh taat azas, beradab, dan cerdas.
Oleh Ahmad Humam Hamid
* Penulis adalah Sosiolog dan Dosen pada Fakultas Pertanian Unsyiah.

Source : Serambi Online, 19 Maret 2009

You may also like
Suara Rakyat, Suara Siapa?
SBY dan Anomali Presidensial
Musim ‘Kawin’ Politik
Politik Kaum di Aceh

1 Response

Leave a Reply