Aryo Wisanggeni G
Marlin Theo Kuinang muram memandangi pecahan kaca nakonya. ”Ini kedua kalinya rumah saya dirusak massa. Waktu pengumuman hasil pemilihan gubernur pada November 2007, massa mencopoti batang besi pagar rumah saya, menjadikannya pentungan. Pagar ini baru saya perbaiki, belum saya cat, giliran kaca nako saya pecah berantakan,” keluh janda itu.
Rabu (18/6) sore itu, bentrokan antara massa pendukung kandidat kepala daerah Maluku Utara (Malut) Abdul Gafur-Abdul Rahim Fabanyo dan polisi terjadi di pertigaan Jalan Nuku-Jalan Arnold Mononutu, tepat di depan rumah Kuinang. Tiga rumah juga menjadi sasaran amuk massa.
Setelah tujuh bulan berlalu, sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Malut belum berujung. Di Senayan, politisi Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) di Komisi II DPR menyerang langkah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mardiyanto yang mengusulkan penetapan pasangan Thaib Armaiyn-Abdul Ghani Kasuba sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Malut terpilih.
Koalisi Partai Demokrat-Partai Keadilan Sejahtera (PKS) selaku pengusung Armaiyn-Kasuba gigih mendukung langkah Mendagri itu. Komisi II DPR pun terpolarisasi ke kedua kubu.
Partai Golkar dan PAN berpegang pada pernyataan Komisi Pemilihan Umum (KPU) bahwa hasil Pilkada Malut yang sah adalah penghitungan suara versi tanggal 20 Februari 2008, yang memenangkan Gafur-Fabanyo. Penghitungan suara itu dilakukan Pelaksana Tugas KPU Malut Muchlis Tapi-tapi untuk mengeksekusi Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 03P/KPUD/ 2007 tertanggal 22 Januari 2008, yang memerintahkan penghitungan ulang perolehan suara Pilkada Malut.
Masalahnya, bukan hanya Tapi-tapi yang melaksanakan eksekusi putusan MA untuk menghitung ulang perolehan suara Pilkada Malut. Ketua KPU Malut M Rahmi Husen yang diberhentikan KPU pusat sejak 30 Januari lalu juga mengeksekusi putusan MA. Hasilnya, penghitungan ulang versi Rahmi memenangkan Armaiyn-Kasuba.
Mendagri, Partai Demokrat, dan PKS berpegang pada Fatwa MA yang menyatakan penghitungan suara yang memenuhi prosedur hukum acara pelaksanaan eksekusi putusan MA adalah penghitungan suara yang memenangkan Armaiyn-Kasuba. Tidak ada jalan tengah karena semua masih memasang kemenangan pihaknya sebagai ”harga mati”.
Taruhan harga diri
Apa yang sebenarnya dipertaruhkan di Malut? Bagi Gafur, taruhannya jelas harga diri. Pada 5 Juli 2001, Gafur yang berpasangan dengan Yamin Tawari terpilih menjadi Gubernur dan Wagub Malut periode 2001-2006 dalam Sidang Paripurna DPRD Malut. Tetapi, muncul tudingan dari kubu Armaiyn bahwa Gafur mempraktikkan politik uang.
Pemilihan gubernur pun diulang tiga kali. Pada 7 Maret 2002, giliran Armaiyn terpilih menjadi gubernur. Pada 26 April 2002, Gafur menang lagi. Tetapi pada 28 Oktober 2002, Armaiyn kembali terpilih menjadi gubernur dan akhirnya dilantik. Sejarah kini seakan berulang karena Mendagri mengusulkan agar Presiden menetapkan pasangan Armaiyn-Kasuba menjadi Gubernur dan Wagub Malut.
Pendukung kedua kubu sama- sama fanatik. Sekarang pendukung Gafur setiap hari berunjuk rasa menuntut Mendagri membatalkan usulannya. Ini serupa dengan apa yang terjadi sebelum Mendagri mengusulkan Armaiyn ditetapkan sebagai gubernur, ketika pendukung Armaiyn hampir setiap hari berunjuk rasa. Siapa pun yang merasa di bawah angin akan turun ke jalan hingga selama enam bulan terakhir, Ternate tidak pernah sepi dari unjuk rasa.
”Di Malut terdapat 28 suku yang secara tradisional bersaing. Kesadaran persaingan di antara etnis itu memang ada dan menguat setelah sengketa pilkada berlangsung,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Malut (UMMU), Thamrin Husain, pekan lalu.
Armaiyn didukung mayoritas orang Makian. Gafur didukung mayoritas orang Tidore. Thamrin menaksir, siapa pun yang akhirnya dilantik menjadi gubernur, pertentangan di antara kedua kubu pasti terjadi. ”Sejauh mana eskalasinya, itu yang sulit diukur,” katanya.
Mudah bagi Thamrin menjelaskan mengapa tiap kubu gigih mempertahankan ”kemenangan”. Tetapi, sulit baginya menjelaskan mengapa sengketa pilkada provinsi berpenduduk 957.821 jiwa, yang ”hanya” diwakili tiga kursi DPR, itu memanaskan hubungan Partai Golkar dan Partai Demokrat yang berkoalisi mendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
”Bisa jadi kepentingan setiap pihak adalah memenangi Pemilu 2009 di Malut karena sekecil apa pun arti 450.000 suara pemilih di Malut, itu adalah suara rakyat,” kata Thamrin.
Nyatanya, sengketa politik sekelas hak angket kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pun tidak mengoyak persekutuan Partai Golkar dan Partai Demokrat dalam mendukung Yudhoyono. Ketua Umum Partai Golkar M Jusuf Kalla bahkan menegur Yuddy Chrisnandi, satu- satunya anggota Fraksi Partai Golkar yang mendukung hak angket BBM pada 24 Juni lalu. Namun, dalam sengketa Pilkada Malut, justru Mendagri yang ”ditegur” Kalla.
Dosen FISIP UMMU lainnya, Herman Oesman, menggelengkan kepala ketika ditanyai apakah 450.000 pemilih cukup menjadi alasan Partai Golkar dan Partai Demokrat berseteru. ”Lebih masuk akal pertentangan kuat itu dilatarbelakangi kepentingan besar lainnya yang publik tidak tahu. Sulit memastikan apa kepentingan itu. Tetapi, upaya penguasaan sumber daya alam di Malut adalah satu kemungkinan,” kata Herman.
Sumber daya alam Malut memang menggiurkan. Kandungan nikel terhampar di areal seluas 47.898 hektar. Perusahaan asal Perancis, Eramet, berinvestasi melalui anak perusahaannya, PT Weda Bay Nikel, untuk menambang nikel di kawasan berpotensi cadangan terbukti 60 juta ton nikel. Sejumlah 78,2 juta ton cadangan emas tersebar di 16 lokasi, dan salah satu lokasi di Halmahera Utara dan Halmahera Barat digarap PT Nusa Halmahera Minerals Ltd, perusahaan yang 82,5 persen sahamnya dikuasai Newcrest Singapore Holdings Pte Ltd asal Australia.
Ada deretan panjang perusahaan tambang lain yang ingin mengeruk Malut. Potensi tembaga ditemukan di 10 lokasi, dengan perkiraan cadangan 70 juta ton. Malut pun kaya mineral dan batuan lain, mulai dari alumunium, uranium, magnesit, pasir besi, titanium, asbes, kaolin, bentonit, permata, kromit, hingga kuarsa. (Unggulan Kawasan Timur Indonesia, Sekretariat Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia, 2005).
Muchlis Tapi-tapi juga memunculkan dugaan kepentingan banyak pihak akan hasil akhir Pilkada Malut dilatarbelakangi sesuatu yang lain. Ia menuturkan tentang kunjungan Asisten Politik Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) Benny Junito ke Malut saat pemungutan suara 3 November lalu.
”Bagi saya, itu aneh sebab AS tidak memiliki investasi apa-apa di Malut. Malut juga bukan daerah yang diminati wisatawan AS. Ketika saya bertanya apakah kunjungannya terkait rencana investasi AS di masa depan, ia hanya mengangkat bahu. Pada Januari lalu, pejabat Kedutaan Besar AS lainnya juga berkunjung ke Malut,” tutur Tapi-tapi.
Tentu saja banyak pejabat negara sahabat yang memantau pilkada di daerah lain. Tetapi, memantau pilkada di provinsi sekecil Malut menimbulkan tanda tanya. Tanda tanya juga muncul ketika elite politik nasional yang seharusnya menengahi sengketa pilkada itu justru memanaskan suhu politik di Malut, dengan berperang kata dan wacana.
Pihak mana pun yang memenangi Pilkada Malut tentunya bakal memiliki akses kuat terhadap apa pun yang ada di provinsi ini. Tetapi, apakah konflik horizontal akan terus dibiarkan?
Tulisan Ini dikutip dari Kompas.com