Belakangan tidak sedikit orang menggugat demokrasi. Pasalnya, dalam pandangan para penggugat itu, setelah lebih dari satu dekade proses demokratisasi kondisi Indonesia dianggap tak lebih baik. Di sejumlah hal terdapat paradoks antara satu dan yang lain.
Pertama, produk domestik bruto (GDP) Indonesia meningkat tajam dalam tahun- tahun belakangan. Itu sebabnya Indonesia sekarang masuk sebagai bagian dari G-20 atau dua puluh negara yang ber-GDP besar. Bahkan, kalau pertumbuhan ekonominya terus berlanjut secara konsisten, dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi Indonesia bisa mendekati G-10.
Akan tetapi, perbaikan secara makro itu belum dibarengi perbaikan secara mikro. Hal ini tidak lepas dari realitas bahwa kue pertumbuhan ekonomi itu lebih banyak dinikmati sekelompok kecil anggota masyarakat dan terkonsentrasi di sektor industri jasa yang padat modal tetapi relatif kecil daya tampung angkatan kerjanya.
Kedua, kelembagaan dan proses demokratisasi sudah berlangsung cukup bagus. Pembagian dan pemisahan kekuasaan yang memungkinkan terjadinya checks and balances sudah terbangun. Demikian pula hak-hak sipil dan hak-hak politik, yang merupakan fondasi bagi terjaminnya keberlangsungan demokrasi, sudah relatif terbangun.
Namun, pelembagaan demokrasi itu belum dibarengi akuntabilitas dan responsibilitas dari para elite yang terpilih secara demokratis. Maraknya kasus korupsi, baik di pusat maupun di daerah, serta orientasi pembangunan yang masih belum sepenuhnya untuk rakyat merupakan cerminan dari belum menyambungnya antara apa yang dilakukan para elite dan harapan rakyat yang dipimpin.
”Pasar bebas”
Mengapa hal itu bisa terjadi? Ketika kekuasaan itu sudah terbatasi, ada lembaga-lembaga yang berfungsi melakukan kontrol, terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan seharusnya bisa dihindari.
Akan tetapi, yang terjadi kemudian sejumlah lembaga yang seharusnya berfungsi melakukan kontrol, termasuk melakukan penegakan hukum, justru ditemukan adanya penyalahgunaan kekuasaan atau otoritas. Kasus-kasus yang terjadi di DPR/D, kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung merupakan buktinya.
Kalau merujuk pada realitas bahwa kelembagaan demokrasi yang ada sekarang cenderung menganut demokrasi ”pasar bebas”, praktik semacam itu seharusnya bisa diminimalisasi. Di dalam sistem demikian, kesempatan melakukan penyimpangan memang diminimalisasi. Hal ini tak lepas dari adanya transparansi dan mekanisme kontrol yang jelas serta ketat.
Di Indonesia, mekanisme semacam itu belum berjalan. Penyebabnya antara lain demokrasi ”pasar bebas” itu berlangsung di dalam suasana yang tidak sempurna. Para teoretikus modernisasi sering mengaitkan tidak sempurnanya mekanisme dan proses demokrasi itu dengan tingkat pendidikan dan GDP per kapita.
Demokrasi pasar bebas akan berlangsung secara sempurna manakala warga negara memiliki tingkat pendidikan yang lebih memadai. Dalam tingkat pendidikan demikian, baik elite maupun rakyat sama- sama memiliki kemampuan mengolah informasi yang didapat secara baik. Konsekuensinya, ketika rakyat hendak melakukan tuntutan atau aksi, hal itu didasarkan atas analisis informasi yang baik. Demikian pula para elite, ketika merespons atau membuat kebijakan didasarkan atas informasi dan analisis memadai.
GDP per kapita juga sering dijadikan rujukan bagi sempurnanya pasar bebas demokrasi. Ketika pendapatan warga rata-rata sudah memadai, mereka tak lagi terkonsentrasi pada bagaimana memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar. Mereka mulai berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder, termasuk kebutuhan melakukan aktualisasi diri.
Belakangan, tingkat pendidikan rakyat Indonesia sudah jauh lebih baik. GDP per kapita juga meningkat. Akan tetapi, kalau dibandingkan dengan apa yang terjadi di negara-negara yang sudah relatif mapan demokrasinya, apa yang terjadi di Indonesia memang belum cukup berarti.
Namun, di sisi lain terdapat sekelompok orang yang memiliki tingkat pendidikan dan pendapatan yang memadai. Implikasinya, terdapat kesenjangan yang cukup lebar antara sekelompok kecil orang dan sebagian besar orang.
Kondisi semacam itu memudahkan lahirnya praktik oligarki dalam kekuasaan. Sekelompok kecil orang yang memiliki pengetahuan dan kekayaan lebih memadai kenyataannya berpotensi mengendalikan kekuasaan yang ada itu. Tragisnya, kekuasaan yang dimiliki itu lebih diarahkan untuk kepentingan mereka.
Dalam konteks demokrasi pasar bebas yang tidak sempurna itu, transaksi antara pemimpin dan yang dipimpin juga berlangsung secara tidak sempurna. Di dalam demokrasi pasar sempurna, transaksi lebih cenderung berorientasi pada kebijakan dan jangka panjang. Sebaliknya, dalam demokrasi pasar tidak sempurna, transaksi lebih cenderung berorientasi jangka pendek dan material. Konsekuensinya, terdapat electoral disconnect antara yang memimpin dan yang dipimpin.
Penegakan
Analisis semacam itu memang membuat kita lebih pesimistis memandang proses demokratisasi di Indonesia. Kalau menunggu tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat lebih memadai, jelas membutuhkan waktu yang tidak singkat. Menunggu rata-rata tingkat pendidikan pada level menengah atas atau GDP per kapita sekitar 6.000 dollar AS berarti membutuhkan waktu sekitar satu dekade, suatu jangka waktu yang tidak pendek.
Agar kematangan berdemokrasi tidak terlalu tergantung pada proses linier semacam itu, dibutuhkan seperangkat kelembagaan untuk mengatasi demokrasi pasar yang tidak sempurna itu.
Pertama, pentingnya desain tambahan, khususnya adanya aturan dan penegakan aturan untuk menghindari distorsi demokrasi pasar bebas yang tidak adil itu. Di sini, supremasi hukum menjadi sangat penting.
Kedua, praktik berdemokrasi membutuhkan keteladanan. Para elite tidak hanya dituntut pandai memberikan harapan-harapan, tetapi juga memberikan keteladanan yang baik. Bagaimanapun, negara yang sedang bertumbuh ini membutuhkan para elite yang mampu berfungsi sebagai penggerak, pengarah, dan pendorong kebaikan-kebaikan.
Kacung Marijan
Guru Besar Universitas Airlangga
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.