Home > Education > Political Marketing > Sketsa Pemilu 2009: Perilaku Orang/Lembaga Survei (1)

Sketsa Pemilu 2009: Perilaku Orang/Lembaga Survei (1)

Jakarta – Hasil survei pemilih menjelang pemilu atau pilkada, sering menimbulkan kontroversi. Bukan lagi karena survei merupakan fenomena baru dalam dunia politik, tetapi lebih karena perilaku lembaga survei atau orang-orangnya.

Jika sepuluh tahun lalu (menjelang Pemilu 1999) atau lima tahun lalu (menjelang Pemilu 2004), publikasi hasil survei pemilih selalu menimbulkan kontroversi, saya menganggapnya, wajar saja. Saat itu kegiatan survei pemilih masih merupakan barang baru, sehingga banyak orang bingung dan salah mengerti.

Survei pemilih memang fenomena masyarakat terbuka. Selama 32 Orde Baru, kita tidak tahu preferensi pemilih menjelang pemilu-pemilu Orde Baru. Survei tak mungkin dilakukan, karena dilarang pemerintah. Beberapa lembaga berusaha melakukanya, namun hasilnya tidak pernah dipublikasikan.

Orde Baru tak mungkin mengizinkan survei, karena hal itu akan berpengaruh terhadap penilaian hasil pemilu. Apa jadinya, kalau hasil survei menunjukkan sebagian besar pemilih tidak menyukai Golkar, sementara pemilu sudah memastikan bahwa Golkar keluar sebagai pemenang?

Saya jadi ingat gerutu almarhum Prof. Dr. Riswanda Imawan, salah satu ilmuwan politik yang menekuni ilmu perilaku pemilih. “Ilmu saya tidak laku di sini. Bagaimana mau laku, sebelum pemilu, semua orang sudah tahu hasil pemilu. Bahkan sampai angka di belakang koma,” kata dia pada awal 1990-an.

Tentu hal seperti itu tidak terjadi di negara-negara yang sudah berkembang demokrasinya. Di sini survei pemilih sudah diposisikan sebagai salah satu instrumen untuk mengukur kualitas pemilu.

Apabila dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah, hasil survei pemilih seharusnya paralel dengan hasil pemilu. Sebab, baik responden maupun pemilih sama-sama memiliki kebebasan mutlak saat menjawab pertanyaan survei atau saat memilih dalam bilik suara.

Oleh karena itu, jika hasil survei tidak sejalan, apalagi sampai melenceng jauh, pasti ada yang salah: kemungkinan pertama, proses pemilu berlangsung tidak jujur; kemungkinan kedua, metode survei tidak tepat, tidak sesuai dengan standar ilmiah.

Untuk memastikan ada tidaknya kedua kemungkinan tersebut, sama-sama mensyaratkan keterbukaan:

Pertama, proses pemilu bisa ditelusuri kembali untuk memastikan benar tidaknya prosedur pelaksanaan, sehingga kalau ditemukan kesalahan berarti terjadi pelanggaran, dan bila terjadi pelanggaran, tidak hanya pelakunya saja yang dijatuhi sanksi, tetapi hasil pemilu juga bisa dibatalkan dan prosesnya bisa diulang.

Kedua, proses survei bisa dilacak kembali secara terbuka, mulai dari penyusunan desain survei, penentuan metode survei, teknik sampling, teknik wawancara, input data, pengolahan data, penarikan kesimpulan, dan publikasi hasil survei. Soal nonilmiah juga bisa diperjelas: siapa penyandang dana dan bagaimana mengumpulkannya.

Nah, pada wilayah inilah, saya melihat lembaga-lembaga survei yang beroperasi di sini belum memenuhi kondisi yang seharusnya tersebut.

Bagaimana kita mau melacak kebenaran survei, kalau bahan-bahan dasar survei (raw material) tidak pernah ditunjukkan ke publik, sehingga bisa dicek oleh banyak orang? Bagaimana kita bisa mengukur independensi hasil survei, bila sedari awal lembaga survei tidak pernah terbuka terhadap penyandang dana? Ingat, mereka baru terbuka, kalau ada wartawan bertanya. Coba kalau tidak?

Inilah yang menjadi sebab, kenapa sudah beroperasi sepuluh tahun, survei pemilih selalu menimbulkan kontroversi.

Menurut saya, kali ini lembaga survei tidak bisa lagi mengatakan,”Banyak orang yang belum memahami bagaimana survei bekerja.” Sudah cukuplah waktu sepuluh tahun untuk memahami bagaimana kaidah-kadiah ilmiah dan metodologi survei. Yang barangkali masih sulit dipahami adalah perilaku lembaga survei atau orang-orang di dalamnya.

*) Didik Supriyanto adalah Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Source : Detik Pemilu, 8 Juni 2009

You may also like
Azyumardi: Forum Rektor Tak Proporsional
LSI Optimistis Pilpres Hanya Satu Putaran
Puskaptis: Figur SBY Penentunya
Peluang Satu Atau Dua Putaran “Fifty-Fifty”

Leave a Reply