Home > Education > Political Marketing > Golkar dan Masa Depan SBY-JK

M Alfan Alfian

Dalam suatu konferensi pers di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua Fraksi Partai Golkar Priyo Budi Santoso memberikan sinyal, masa depan duet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla bisa tidak menentu.

F-PG yang semula mendukung pemerintah akan membebaskan anggotanya mendukung hak interpelasi atau angket yang mengkritik kebijakan pemerintah (Kompas, 1/6/2008).

Partai Golkar tengah ”kecewa” dan ”getir” dengan perkembangan politik terakhir atas akumulasi beberapa peristiwa yang ”tidak mendapat apresiasi yang seharusnya” dari pemerintah. Faktor Golkar amat menentukan kekuatan koalisi pendukung pemerintah. Jika Golkar selalu resisten dengan kebijakan pemerintah, tentu akan kontraproduktif dengan masa depan pemerintah.

Namun, sinyal kekecewaan itu mencerminkan posisi Golkar yang serba dilematis. Posisinya unik, tetapi selama ini tampak, Golkar tidak dapat optimal terakomodasi dalam pemerintahan karena itulah sering kecewa.

Secara kelembagaan, dapat dipahami kekecewaan itu kembali terjadi menyusul dalam banyak pemilihan kepala daerah (pilkada), partai ini merasa sering diperlakukan tidak adil oleh pemerintah. Golkar kecewa dengan penyelesaian atas konflik Pilkada Lampung dan Maluku Utara.

Dalam hal ini, posisi Jusuf Kalla (JK) cukup membingungkan. Ketika partai yang dipimpinnya kecewa, bukankah itu sama dengan memprotes posisinya sebagai wakil presiden dan sedang mengkritik ”diri sendiri”? Lalu, siapa yang hendak dibela JK? Golkar, ”pemerintah”, atau ”keduanya”? Kebingungan itu merupakan buah konsekuensi rangkap jabatan.

Karena itulah publik cepat memaknai ekspresi kekecewaan itu sebagai serangan politik yang dialamatkan ke Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden dan Partai Demokrat, meski yang menjadi ”sasaran” adalah Mendagri Mardiyanto.

Apa yang dikecewakan oleh Golkar secara ekspresif itu, bagaimanapun, merupakan bentuk dari tekanan politik institusinya pada ”pemerintah”, seolah melupakan sejenak bahwa pihaknya merupakan bagian koalisi politik pendukung pemerintah.

Politik itu dinamis

Menentu-tidaknya masa depan politik SBY-JK tentu tergantung banyak faktor. Namun, sekiranya semua sepakat, politik itu dinamis. Hadir dan bubarnya sebuah koalisi politik bisa terjadi dalam tempo lebih cepat atau lebih lambat dari yang diperkirakan, tergantung dari proses memberi dan menerima (take and give) yang ada. Koalisi terbentuk karena ada kesepahaman politik (political deal), yang terdeteksi dari derajat kepuasan masing-masing, yang terukur dari kalkulasi pragmatis.

Ekspresi protes yang disampaikan Golkar merupakan sinyal melemahnya derajat kepuasan politik, yang berpotensi memengaruhi masa depan hubungan SBY-JK. Itu faktor pertama.

Faktor lain terkait reaksi balik dari kubu SBY dan Partai Demokrat. Selama reaksi baliknya wajar, boleh jadi ketegangan tidak akan meninggi dan stabilitas hubungan terjaga. Yang amat menentukan adalah perkembangan politik eksternal, yakni seberapa fluktuatif derajat popularitas SBY dan JK serta tiap-tiap partai politik. Kalkulasi bisa dilakukan sebelum atau sesudah pemilu. Sebelum pemilu, masing-masing akan mencoba saling menahan diri. Setelah pemilu akan semakin kelihatan ke mana arah politik masing-masing.

Dalam jangka pendek, kekecewaan Golkar agaknya tidak akan mengganggu stabilitas koalisi pendukung pemerintahan. Jika Golkar keluar, koalisi pasti akan goyah, apalagi jika yang keluar tidak hanya Golkar. Hal itu bukan tidak mungkin terjadi. Pada titik ekstrem, Partai Demokrat adalah satu-satunya tumpuan harapan SBY. Di tengah kompetisi politik yang seru, perjuangan Partai Demokrat tidak gampang. Faktor SBY saja tidak cukup.

Skenario politik ke depan masih amat terbuka. Asumsi-asumsi yang ada bisa bergeser setiap saat. Bisa jadi ekspresi kekecewaan Golkar hanya semacam ”gertak politik”, yang tidak secara signifikan menggeser asumsi bertahannya pasangan SBY-JK hingga 2009. Namun, asumsi itu akan bisa bergeser jika ada ”gempa politik” yang lebih besar.

M ALFAN ALFIAN Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

Opini ini dikutip dari kompas.com, 14 Juni 2008

Leave a Reply