Eko Prasojo
Mungkin kita patut bertanya mengapa reformasi 1998 tidak berdampak signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, terindikasi kejadian sebaliknya, jumlah orang miskin kian banyak.
Setelah kenaikan harga BBM tahun ini, jumlah orang miskin diperkirakan naik 16,58 persen (4,5 juta) dari 37,2 juta (Maret 2007) menjadi 41,7 juta jiwa (21,92 persen).
Banyak faktor memengaruhi hal ini, dari kenaikan harga minyak dunia, inefisiensi pemerintahan, korupsi, sampai infrastruktur politik yang tidak memadai. Faktor terakhir menarik dianalisis karena saat kemiskinan kian tidak terkontrol, jumlah partai politik yang lulus verifikasi administratif mencapai 51 buah.
Seakan tiap orang berlomba memakmurkan ranah politik. Namun, keberadaan partai politik kian tidak dirasakan manfaatnya bagi kemakmuran rakyat.
Pergeseran orientasi
Jamak diketahui, fungsi partai politik mencakup tiga hal, yaitu melakukan pendidikan politik, mengartikulasikan kepentingan masyarakat, dan melakukan integrasi politik. Ditilik fungsinya, partai politik sejatinya berperan sentral dalam infrastruktur kehidupan bernegara. Fungsi pendidikan politik tidak hanya bagi kader partai, tetapi juga masyarakat agar terwujud masyarakat yang sadar akan hak dan kewajiban sebagai warga negara.
Kesadaran ini penting guna menciptakan partisipasi aktif sekaligus kepercayaan masyarakat kepada sistem formal kenegaraan. Semakin baik fungsi pendidikan politik partai politik, baik bagi kader parpol maupun masyarakat, kian aktif dan kondusif relasi negara dan masyarakat.
Fungsi artikulasi kepentingan dimanifestasikan parpol sebagai perpanjangan lidah rakyat, sebagai institusi formal negara yang menyerap aneka kepentingan dan kebutuhan rakyat yang harus diperjuangkan melalui mekanisme perwakilan dalam bentuk peraturan perundang-undangan atau kebijakan. Kepada parpol, rakyat menitipkan amanah untuk diperjuangkan dan diwujudkan.
Agaknya fungsi parpol dalam sistem politik Indonesia mengalami pergeseran orientasi. Diharapkan pada Pemilu 2009, jumlah parpol di Indonesia menyusut, paling tidak hingga 12 buah, dan pada Pemilu 2014 menjadi enam parpol. Harapan berkurangnya jumlah parpol diikuti kian solid dan kuatnya ideologi parpol. Tampaknya ini tidak mungkin terjadi karena jumlah parpol justru kian banyak.
Upaya mengerem jumlah parpol melalui parliamentary treshold tidak menyurutkan niat elite mendirikan parpol. Bahkan, ketentuan electoral threshold dalam UU Pemilu sebelumnya (UU No 12 Tahun 2003) dinyatakan tidak berlaku pada UU Pemilu yang baru (UU No 10 Tahun 2008).
Kegemaran—jika tidak mau dikatakan kegilaan—elite mendirikan parpol ternyata tidak diikuti bangunan ideologi yang kokoh, dasar perjuangan yang mengarahkan cita-cita, sikap, perilaku, tindakan, dan keputusan setiap kader parpol dalam berpolitik.
Boleh dikatakan, seolah mendirikan parpol hanya memenuhi ”ruang ambisi” dan hanya bergerak dalam syarat teknis administratif. Jika secara teknis administratif terpenuhi, tak ada halangan untuk mendirikan parpol. Jika gagal dalam pemilu, dengan mudah parpol dibubarkan, berganti baju, mendirikan parpol baru untuk bisa ikut pemilu berikutnya.
Pergeseran ini bisa jadi disebabkan ketidakpahaman elite terhadap tujuan dan fungsi parpol atau bisa disebabkan perubahan orientasi fungsi parpol. Amat mengkhawatirkan jika orientasi parpol menjadikan ranah politik sebagai ”entitas bisnis”, tempat mencari nafkah. Juga disayangkan jika orientasi fungsi parpol hanya maksimalisasi kekuasaan demi ambisi pribadi.
Jika ini benar, amat jauh mengharapkan partai politik sebagai institusi yang menciptakan elite berkarakter negarawan.
Ideologi parpol
Untuk memperbaiki fungsi parpol, tidak ada jalan lain kecuali membangun meritokrasi politik. Ada dua hal penting dapat dilakukan, (1) dengan memperkokoh ideologi partai sebagai nilai dasar perjuangan dan (2) membentuk sistem kaderisasi partai yang sistematik.
Partai politik tanpa ideologi ibarat makhluk tanpa jiwa, tidak memiliki cita-cita perjuangan. Ideologi menjadi nilai bersama yang mengarahkan tiap pimpinan dan kader parpol tentang konstruksi dan cita-cita kehidupan bernegara dan berbangsa.
Dengan ideologi, parpol dapat menentukan apakah koalisi dengan parpol lain dapat dibangun atau tidak. Berbagai produk perundang-undangan harus berdasar nilai ideologi parpol, termasuk menentukan apakah aset BUMN harus diprivatisasi? Dalam praktik, berbagai produk perundang-undangan lebih banyak diarahkan kepentingan kapitalisme. Parpol kehilangan jiwa dan nilai untuk membedakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Faktor kedua, kaderisasi ideologi, yaitu proses internalisasi nilai pada kader parpol. Kaderisasi adalah fungsi pendidikan politik agar kelak dapat melakukan fungsi pendidikan politik kepada masyarakat dan menjual ”nilai ideologi” kepada masyarakat. Proses kaderisasi tidak instan, tetapi berjenjang, dari simpatisan, kader biasa, kader lanjutan, sampai pimpinan cabang, daerah, wilayah, dan pimpinan pusat.
Proses inilah yang akan membentuk calon legislatif dan calon presiden/kepala daerah. Bukan sebaliknya, mendukung calon non-kader dalam pemilu/pilpres/pilkada. Penguatan ideologi parpol dan kaderisasi adalah kunci membenahi infrastruktur politik di Indonesia.
Eko Prasojo Guru Besar FISIP UI
Opini ini dikutip dari kompas.com, 14 Juni 2008