Home > News > Opinion > Hasan Tiro Pulang

Sejak bom meledak di rumah Ketua Komite Peralihan Aceh sekaligus Ketua Partai Aceh (PA), Muzakkir Manaf, pada awal puasa, teror bom mulai sering terdengar di Nanggroe Aceh Darussalam.

Perselisihan antara Partai Aceh dan Partai SIRA juga kian tidak produktif bagi perdamaian. Sebelum Lebaran, sebuah berita mengejutkan terdengar, Hasan Tiro pulang ke Aceh!

Momentum reunifikasi Aceh

Di Aceh, tak ada tokoh hidup yang begitu dihormati sekaligus kontroversial seperti Dr Hasan Muhammad Di Tiro. Ia bukan hanya pendiri gerakan militer Aceh Merdeka (AM), tetapi juga tokoh tak tergantikan meski perang telah berganti panglima, baik TNI maupun GAM.

Karismanya dapat disamakan dengan Tgk Daud Beureueh yang memimpin pemberontakan DI/ TII dan Republik Islam Aceh (RIA). Ia bahkan diberi gelar ”wali”, menunjukkan pengaruh kuasanya melampaui struktur formal pemerintahan Aceh. Seorang kombatan mengatakan kepada penulis, ”Siapa pun boleh jadi gubernur, dari Ibrahim Hasan hingga Irwandi, tetapi Tgk Hasan tetap wali Nanggroe Aceh.”

Pada masa konflik, Hasan Tiro adalah panglima besar yang mengatur peperangan dari jauh. Meski tak pernah jelas garis instruksional antara dirinya di Stockholm dan panglima perang di Aceh, figurnya tak mungkin diabaikan. Pidatonya didengarkan dengan takzim oleh ”anggota” dan diputar setiap hari ulang tahun GAM.

Pada masa diplomasi damai, Hasan Tiro adalah Don Corleone- nya. Ia tidak hadir secara fisik dalam pertemuan negosiasi antara Pemerintah RI dan GAM, tetapi peunutoh (kebijakan) tetap di tangannya. Ijab damai di Vantaa, Helsinki, memang diperankan Malik Mahmud, sang perdana menteri, tetapi posisinya tak lebih sebagai kerani.

Kini, rencana kepulangannya ke Aceh pada 11 Oktober membawa pesan baru. Kehadirannya tak hanya merepresentasikan kepentingan politik GAM, tetapi juga perwujudan seluruh simbol perjuangan Aceh baru: perjuangan ekonomi dan kultural yang membebaskan Aceh dari belenggu konflik, ketertinggalan, dan krisis perdamaian.

Momentum itu harus diciptakan karena situasi politik Aceh akhir-akhir ini kian kusut masai oleh politik kekerasan dan intimidasi, baik secara tidak langsung disponsori kelompok saingan politik atau secara langsung oleh elemen pencipta konflik. Kisah- kisah kekerasan kian mengganggu harmoni. Jika tak diantisipasi, lubang hitam itu akan menciptakan instabilitas hingga membangkrutkan demokrasi yang dibangun susah payah.

Reunifikasi atau penyatuan diri dan visi seluruh elemen masyarakat Aceh penting untuk mengingat kembali harga perdamaian yang telah dibayar. Rekonstruksi otomatis macet jika tercipta konflik permanen. Transisi akan berbalik arah dan meruntuhkan banyak kebaikan. Kembalinya Hasan Tiro harus menjelmakan semangat kepulangan Norodom Sihanouk yang arif menengahi keberadaan faksi- faksi yang bertikai puluhan tahun di Kamboja. Hasan Tiro adalah wali bagi seluruh masyarakat Aceh, dari pesisir hingga pedalaman.

Ekonomi dulu, baru politik

Kepulangan Hasan Tiro ke Aceh harus diisi agenda prioritas. Setelah kondisi pemerintahan yang pincang karena Gubernur NAD harus berobat ke Singapura selama dua bulan untuk penyembuhan penyakit strokenya, kepulangan Hasan Tiro harus bernilai lebih. Bukan hanya konsolidasi antar-elemen GAM yang kini terpecah menjadi tujuan, tetapi juga mencari signifikansi antarsektor pembangunan. Persiapan Pemilu 2009 nasional memang penting, terutama melawan dominasi partai politik nasional. Namun, agenda pembangunan dan pemberdayaan ekonomi jauh lebih penting.

Pembangunan ekonomi bukan hanya memerlukan semangat antikorupsi dan komitmen moral, tetapi juga keuletan dan pemikiran yang kuat. Angka gagal pembangunan di Aceh belum beranjak baik (penduduk miskin (26,65 persen) pengangguran (12 persen), inflasi (11,2 persen), putus sekolah (37,5 persen), dan serapan anggaran (40 persen) meski telah melibatkan multistakeholder dalam rekonstruksi pascatsunami. Ada yang salah pada konsep pembangunan selama ini (terlalu elitis, prioritas megaproyek, miskin partisipasi, kurangnya sense of crisis, dan pembangunan berbasis eksploitasi lingkungan). Kerusakan pembangunan pasca-BRR meninggalkan bom waktu. Perlu modal dan waktu untuk memulihkannya.

Simpul kata harus menguatkan maksud, tidak ada rekonstruksi tanpa perdamaian. Kepentingan politik 2009 harus kalah demi pembangunan 20-30 tahun ke depan. Musuh perdamaian harus dikalahkan demi Aceh. Pax melior est quam iustissimum bellum, damai lebih baik daripada semua jenis peperangan. Kata Rafly Kande, ”Daripada ta meuprang, lebéh geut ta damee.”

Teuku Kemal Fasya Ketua Komunitas Peradaban Aceh (KPA)

Source : kompas.com, 10 Oktober 2008

You may also like
Suara Rakyat, Suara Siapa?
Pertama Dalam Sejarah, Wali Aceh Ikut Mencoblos
Mengapa Malik Mahmud Bilang Aceh Lagee Keudee Teutop?
SBY dan Anomali Presidensial

Leave a Reply