Jakarta, Kompas – Pemilihan umum kepala daerah yang berlangsung sepanjang tahun 2010 dinilai sarat dengan praktik korupsi. Implikasinya, pilkada hanya menghasilkan pemimpin daerah yang korup dan ujung- ujungnya merugikan rakyat.
Dari pemantauan Indonesia Corruption Watch terhadap 244 pilkada yang berlangsung tahun ini, ditemukan ada 1.517 praktik korupsi. Peneliti Divisi Korupsi Politik ICW, Apung Widadi, Senin (20/12), mengungkapkan, modus korupsi pilkada yang paling banyak dilakukan adalah pemberian uang secara langsung (70 persen), kemudian pembagian bahan pokok (21 persen), serta pembagian barang lainnya (lihat Tabel).
Dilihat dari pelakunya, tim sukses merupakan pihak yang paling banyak melakukan tindak korupsi dalam pilkada (203 kejadian). Peringkat berikutnya diduduki perangkat pemerintah, broker suara, dan terakhir pasangan calon.
Selain praktik korupsi, juga terjadi penyalahgunaan fasilitas jabatan dan kekuasaan. Bentuk penyalahgunaan yang paling banyak dilakukan, terutama oleh kandidat petahana, adalah pelibatan pejabat daerah dalam pemenangan pilkada serta memanfaatkan program populis APBN dan APBD untuk menarik simpati pemilih.
”Korupsi dalam pilkada 2010 justru makin marak dan cenderung tak terkendali. Masih ada kelemahan dalam implementasi UU Pemilu No 32/2004 dan Peraturan Pemerintah No 6/2005 tentang pilkada, khususnya dalam pengawasan terhadap dana kampanye yang rentan praktik politik uang,” katanya.
Abdullah Dahlan, peneliti Divisi Korupsi Politik ICW lainnya, menyatakan, integritas penyelenggaraan pilkada 2010 patut dipertanyakan karena dari total 244 pilkada, 232 pilkada digugat di Mahkamah Konstitusi. Bahkan, ironinya, 10 kandidat kepala daerah petahana yang berstatus tersangka dan terdakwa justru terpilih kembali.
”Seleksi kandidat kepala daerah telah tersandera praktik politik transaksional karena yang terjadi adalah pembelian suara kepada parpol. Komitmen parpol dalam membangun pimpinan daerah yang bersih terlihat lemah,” kata Abdullah.
Kondisi makin buruk ketika calon berstatus tersangka ataupun terdakwa itu oleh Menteri Dalam Negeri justru tetap dilantik. ”Jika pemerintah pusat juga berkomitmen memberantas korupsi, seharusnya menunda pelantikan dan memerintahkan polisi ataupun kejaksaan untuk mempercepat proses hukumnya sehingga saat kandidat terpilih itu menjabat, tidak ada persoalan hukum lagi,” katanya.
Untuk memperbaiki pilkada mendatang, ICW merekomendasikan adanya aturan mengenai indikator kinerja yang harus dipenuhi penyelenggara pilkada. Sistem akuntabilitas penyelenggaraan pilkada, baik oleh penyelenggara maupun peserta, juga perlu diperjelas dan diperketat.
Harus direvisi
Secara terpisah, Badan Pengawas Pemilu merekomendasikan revisi sejumlah peraturan pilkada untuk memperbaiki kualitas penyelenggaraan pilkada. Sebab, peraturan pilkada banyak yang tidak memadai, yaitu terdapat kekosongan hukum dan sejumlah aturan yang multitafsir.
”Persoalan mendasar dalam pilkada adalah pengaturan dalam undang-undang yang belum memadai, yaitu terdapat sejumlah kekosongan hukum dan sejumlah aturan multitafsir, belum sinkronnya beberapa aturan dalam undang-undang. Selain itu, masih ada dualisme peraturan pelaksanaan, yaitu peraturan pemerintah dan peraturan KPU yang sering tumpang tindih,” kata anggota Bawaslu, Wahidah Suaib, dalam Catatan Akhir Tahun Divisi Pengawasan dan Divisi Organisasi dan Sumber Daya Manusia Badan Pengawas Pemilu, di Jakarta, Senin.
Anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina Sitorus, mengusulkan anggaran pilkada bersumber dari APBN. Menurut dia, hambatan dalam persetujuan dan pencairan anggaran menjadi persoalan yang menghambat pelaksanaan tahapan pilkada.
(WHY/SIE)
Source: kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.