Jakarta, Kompas – Sistem proporsional campuran atau mixed member proportional system dinilai sebagai sistem yang ideal untuk diterapkan dalam pemilihan umum di Indonesia. Pasalnya, sistem tersebut lebih sederhana dibandingkan sistem proporsional terbuka yang digunakan saat ini.
Direktur Eksekutif Center of Electoral Reform (Cetro) Hadar N Gumay menyampaikan pendapat itu dalam rapat dengar pendapat umum dengan Panitia Khusus (Pansus) Dewan Perwakilan Rakyat tentang Rancangan Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/10).
Hadar mengatakan, sistem proporsional campuran merupakan hasil perpaduan kelebihan sistem proporsional dengan sistem mayoritarian. Penghitungan perolehan kursi parpol didasarkan pada proporsionalitas, sementara penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak dan nomor urut.
Kursi legislatif dipilih melalui dua jalur, yakni daerah pemilihan (dapil) berwakil tunggal dan dapil berwakil banyak. Dengan demikian, calon anggota legislatif dipilih melalui dua jalur, yaitu sebagian dari jalur pemilihan langsung di dapil dengan sistem suara terbanyak dan sebagian dari jalur daftar nomor urut atau sistem proporsional tertutup.
”Kami usulkan komposisinya 50:50. Jadi, separuh kursi DPR didapat dari pemilihan langsung di dapil-dapil dan separuh kursi diperebutkan berdasarkan nomor urut,” katanya.
Jika jumlah kursi di DPR masih tetap 560 kursi, jumlah dapil otomatis bertambah menjadi 280 dapil. Sebanyak 280 kursi itu diisi oleh mereka yang memperoleh suara terbanyak di dapil. Sebanyak 280 kursi sisanya diisi dari hasil penghitungan sisa perolehan suara parpol dan caleg terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut pencalonan.
Lebih sederhana
Sistem proporsional campuran, ujar Hadar, lebih sederhana daripada sistem pemilu yang sekarang dianut, yakni sistem proporsional tertutup. Cakupan dapil yang relatif lebih sempit akan lebih mendekatkan wakil rakyat dengan konstituen. Anggota parlemen lebih mengetahui persoalan dan kebutuhan rakyat.
”Dengan dapil yang kecil-kecil, anggota Dewan akan dipaksa mengurus dapilnya. Kalau tidak mengurus dapil, dia pasti akan dikejar-kejar konstituen,” ujarnya.
Guru Besar Perbandingan Politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Ramlan Surbakti, punya pendapat berbeda. Menurut dia, alokasi kursi dapil sebaiknya dikurangi, dari 3-10 dan 3-12 kursi per dapil menjadi 3-6 kursi per dapil untuk DPR dan DPRD. Selain membuat surat suara lebih sederhana, konsep tersebut diyakini dapat meningkatkan akuntabilitas wakil rakyat kepada konstituen.
Dapil yang dimaksud Ramlan adalah himpunan penduduk sehingga dapil tidak harus berupa wilayah kabupaten/kota, seperti diterapkan dalam pemilu terdahulu. Dapil DPR bisa berupa provinsi, bisa pula berupa kabupaten/kota, gabungan dua atau lebih kabupaten/kota, atau gabungan satu kabupaten/kota dengan satu kecamatan di kabupaten/kota tetangga.
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum itu juga mengusulkan, penetapan caleg terpilih dilakukan berdasarkan nomor urut, seperti praktik dalam sistem proporsional tertutup. Penetapan caleg berdasarkan nomor urut sama demokratisnya dengan penetapan caleg berdasarkan suara terbanyak.
Dalam rapat itu, peneliti Cetro, Refly Harun, mengusulkan agar TNI/Polri diberi hak pilih. Dia mempertanyakan tentang alasan TNI/Polri tidak diberi hak pilih karena mereka tidak boleh berpolitik. Pegawai negeri sipil juga tidak boleh berpolitik, tetapi mendapatkan hak pilih. Begitu pula hakim konstitusi tidak boleh berpolitik, tetapi boleh memberikan suara dalam pemilu.
Jika persoalannya adalah kepentingan, menurut Refly, pihak yang seharusnya tidak boleh memilih adalah penyelenggara pemilu. Pasalnya, merekalah yang paling mudah mengolah hasil perolehan suara. (NTA)
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.