Bicara tentang kesejahteraan, kemiskinan, produktivitas, dan rasa aman, maka orang Jatim menyatakan tidak banyak orang lapar dan kelaparan. Pada dasarnya wilayah ini kelebihan banyak hal: beras, gula, daging ayam, telur ayam.
Perbedaan terjadi manakala digunakan ukuran ”pusat”, apalagi ukuran ”global”. Orang Trenggalek dibilang miskin karena makannya singkong dan semua tepung-tepungan. Soto Rp 3.000-an sudah pakai nasi dan minum teh hangat dibilang di bawah garis kemiskinan. Ukuran siapa itu?
Bagaimana ekonomi seraksasa Jatim bisa dibilang menimbulkan ketimpangan kesejahteraan dan menjadi provinsi dengan kemiskinan terbesar (21 persen) dari penduduknya yang 38 juta orang? Padahal, nilai tambah ekonomi per tahun di atas Rp 600 triliun. Uang beredar lima sampai tujuh kali lipat. Aset pemerintahnya di atas Rp 30 triliun. Kalau dihitung cermat, aset dan kekayaan masyarakatnya di atas Rp 15.000 triliun.
Adakah paradoks itu terlihat dari anggaran belanja daerah yang hanya Rp 5,7 triliun, ataukah karena hampir 70 persen anggaran itu hanya dihabiskan untuk dan oleh birokrasi?
Coba lihat pajak, cukai, dan semua setoran ke pusat bisa mencapai Rp 100 triliun, belum termasuk setoran hasil minyak dan gas. Apakah wilayah ini miskin?
Kalau saja hasil tambang minyak itu mencapai 50.000 barrel per hari, ditambah gas dan hasil samping lainnya, itu sudah memberikan hasil Rp 25 triliun setahun. Padahal, ada potensi sampai empat kali lipat dalam empat-lima tahun mendatang.
Saat ini Jatim menghasilkan ekspor di atas Rp 110 triliun per tahun (seperlima ekspor Singapura) dan impornya sekitar Rp 80 triliun. Pertanyaan lain lagi adalah kenapa lebih dari sejuta orang menganggur? Terlebih lagi yang menganggur itu hasil didikan sekolahan.
Infrastruktur
Kegiatan terbesar masih tertumpu pada mata rantai pertanian pangan dan nonpangan, perikanan, peternakan, perkebunan, dan kehutanan yang masih dianggap remeh. Garis pantai yang 2.000 kilometer dan luas lahan yang lebih dari 6 juta hektar belum mampu menampung daya kreasi dan daya ungkit untuk menarik tenaga muda dalam dunia produksi dan jasa layanannya.
Setiap tahun ada 1 juta sepeda motor baru dan 40.000 mobil baru masuk Jatim, tetapi ke mana tambahan jalan itu? Kenapa tidak ada penambahan waduk atau saluran irigasi untuk meningkatkan produksi padi?
Semangat berwirausaha masih didominasi oleh minat untuk menjadi pegawai negeri. Cara mendidik belum berorientasi pada kewiraswastaan. Alhasil, sekolah terus diburu, sementara hanya 8-10 persen lulusan sekolah menengah yang mampu masuk ke perguruan tinggi.
Agenda besar ekonomi Jatim makin terlihat kalau dilihat dari masih banyaknya pekerja dan usahawan yang belum produktif.
Apakah diperlukan seorang gubernur hebat? Jatim hanya butuh motivator, entrepreneur, dan investor yang berani dan tulus. Yang ditunggu adalah pemimpin yang mampu menggerakkan etos kerja dan menjamin uang rakyat kembali dalam bentuk infrastruktur usaha berdagang.
Ekonomi Jatim harus berfokus pada masyarakat. Kalau saja tambahan 5 juta perempuan bekerja dan 1 juta pencari kerja menjadi setara penanam melon atau penjual sate (sekitar Rp 1 juta per hari kemampuan memutar uangnya), ekonomi Jatim akan dua kali ekonomi Singapura.
KRESNAYANA YAHYA Pengamat Statistik Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya
Source : Kompas.com