Jakarta, Kompas – Semua fraksi di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat sependapat tidak ada perwakilan partai politik di Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum. Mereka hanya belum satu pandangan mengenai syarat jangka waktu minimal anggota KPU dan Bawaslu berhenti dari keanggotaan partai politik.
Hal itu ditegaskan Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Chairuman Harahap, di Jakarta, Senin (15/11), untuk meluruskan pandangan masyarakat. ”Semua sependapat bahwa penyelenggara pemilu, khususnya KPU dan Bawaslu, tidak ada perwakilan parpol,” katanya.
DPR memiliki sembilan fraksi, yaitu Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDI-P, Fraksi PKS, Fraksi PAN, Fraksi PPP, Fraksi PKB, Fraksi Partai Hanura, dan Fraksi Partai Gerindra.
Komisi II DPR, kata Chairuman, memahami jika KPU dan Bawaslu merupakan lembaga independen dan mandiri. Karena itu, parpol tidak akan terlibat di dalam kedua lembaga penyelenggara pemilu tersebut.
Menurut Chairuman, hal yang kini masih menjadi perdebatan adalah mengenai syarat calon anggota KPU dan Bawaslu. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu disebutkan, salah satu syarat menjadi anggota KPU dan Bawaslu adalah tidak pernah menjadi anggota parpol minimal dalam jangka waktu lima tahun.
”Ada yang mengusulkan begitu mendaftar langsung mengundurkan diri dari parpol, ada juga yang mengusulkan jangka waktunya lima tahun. Waktu kapan mundur dari parpol ini yang masih kami diskusikan,” ujarnya.
Tujuh fraksi mengusulkan calon anggota KPU mundur dari parpol begitu mendaftar, sementara dua fraksi mengusulkan syarat minimal lima tahun, seperti UU No 22/2007. Dua fraksi itu adalah Fraksi PAN dan Fraksi Partai Demokrat.
”Kami tetap berpendapat KPU harus diisi orang-orang murni independen yang punya keahlian, keterampilan, dan sudah teruji di kancah nasional,” kata anggota Komisi II DPR dari F-PAN, Rusli Ridwan. Sebelumnya anggota Komisi II dari F-PD, Ignatius Mulyono, juga menegaskan akan tetap mempertahankan syarat lima tahun mundur dari parpol.
Dibahas 24 November
Komisi II DPR menjadwalkan akan kembali membahas penyusunan rancangan revisi UU No 22/2007 pada 24 November 2010. Jika tak juga menemukan titik temu, Komisi II DPR diusulkan untuk mengajukan dua naskah sekaligus ke Badan Legislasi (Baleg). ”Rancangan diajukan saja ke Baleg, tak perlu menunggu suara bulat. Dua versi draf itu diajukan saja semuanya,” ujar anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, Budiman Sudjatmiko.
Budiman tidak setuju menggunakan voting dalam menyelesaikan silang pendapat. Menurut dia, voting seharusnya dilakukan dalam pengambilan keputusan di rapat paripurna, bukan di tingkat komisi.
Sejumlah kalangan mengkhawatirkan, pembahasan revisi UU No 22/2007 yang lambat itu mengancam persiapan Pemilu 2014.
Direktur Eksekutif Sugeng Sarjadi Syndicate Toto Sugiarto mengatakan, ”Ini akan membahayakan persiapan pemilu ke depan. Tetapi, kalau pembahasan revisi UU Penyelenggara Pemilu akan dipaksakan voting, nanti akan dinilai negatif karena ini merupakan kepentingan bangsa.”
Ahli hukum tata negara Irmanputra Sidin mengatakan, selama ini peraturan membatasi mengenai waktu lima tahun sebelum anggota parpol menjadi anggota penyelenggara pemilu. Padahal, aturan yang lebih penting adalah setelah anggota parpol menjabat anggota penyelenggara pemilu. ”Harus diatur bahwa sepuluh tahun ke depan, anggota penyelenggara pemilu tidak boleh terlibat dalam parpol atau tidak boleh menjadi pejabat negara,” katanya.
Irman menambahkan, anggota parpol tidak boleh masuk ke penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu. ”Jika ada anggota parpol yang masuk ke KPU atau Bawaslu, selain berhenti menjadi anggota parpol, juga harus diatur, setelah sepuluh tahun ke depan tidak boleh terlibat dalam parpol dan menjadi pejabat negara. Apakah melanggar hak asasi? Saya kira tidak,” ujarnya. (NTA/SIE)
Source: Kompas.com