JAKARTA, KOMPAS — Pola pengajaran di perguruan tinggi diarahkan berbasis sistem dalam jaringan. Untuk itu perlu dukungan dari pengajar atau dosen muda yang berkualitas dan akrab dengan teknologi digital.
Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kemristek dan Dikti Ali Ghufron Mukti dalam acara bertajuk ”Menyiapkan Dosen Masa Depan”, Kamis (19/4/2018), di Jakarta mengatakan, dosen di perguruan tinggi harus menguasai proses pembelajaran modern yang banyak memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi serta mendukung revolusi industri 4.0.
”Dosen tidak bisa unggul jika tidak responsif terhadap perubahan zaman. Dosen tidak lagi cukup dengan pintar, tetapi juga harus mampu beradaptasi,” kata Ghufron.
Menurut Ghufron, peran perguruan tinggi untuk mendukung daya saing bangsa mensyaratkan tersedianya dosen berkualitas. Namun, penyediaan dosen bermutu menghadapi tantangan seperti sistem perekrutan dosen yang belum memadai. Profesi dosen bukan pilihan utama bagi lulusan terbaik. Tenaga muda dan potensial diperebutkan oleh perguruan tinggi dan industri.
Ghufron menilai kesiapan dosen dalam memanfaatkan pembelajaran digital masih terkendala. Penyebabnya, dosen milenial (berusia 40 tahun ke bawah) masih minim. Para dosen masih didominasi dari generasi X yang berusia 37-52 tahun, sebanyak 142.020 orang.
Adapun tenaga dosen generasi Y (milenial) pada rentang usia hingga 36 tahun sebanyak 113.965 orang. Repotnya, formasi pengangkatan dosen baru pun terbatas. Padahal, dosen yang pensiun per tahun sekitar 2.000 orang.
Ghufron mengatakan, penyiapan dosen muda yang menguasai pembelajaran modern dan kuat dalam riset dilakukan lewat program beasiswa pendidikan magister menuju doktor. Hal ini ditempuh dengan merekrut lulusan terbaik menjadi dosen muda bergelar doktor dengan menjalani pendidikan magister dan doktor selama empat tahun dengan kesempatan tereksposur iklim akademik perguruan tinggi ternama di dunia.
Rektor Universitas Paramadina Firmanzah yang hadir dalam acara itu mengatakan, dosen harus memahami ekspektasi masyarakat di dunia pendidikan yang berubah. Masyarakat menginginkan pendidikan dijalankan secara menyenangkan, pembelajaran yang rumit disederhanakan dengan teknologi, serta yang mendorong mahasiswa berpikir sendiri dan mampu berinovasi.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Ibnu Hamad mengemukakan, penyiapan dosen masa depan harus mengacu pada rancangan besar dunia pendidikan tinggi Indonesia. Pembelajaran kini berpusat pada mahasiswa, bukan lagi pada dosen.
Dosen asing
Terkait dosen asing, Ghufron mengatakan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mendukung perguruan tinggi Indonesia untuk menggandeng dosen asing. Perguruan tinggi dapat memanfaatkan peluang ini karena pada tahun ini pemerintah mendukung sekitar 200 dosen asing dari perguruan tinggi berkelas dunia ke Indonesia.
Ghufron mengatakan kedatangan dosen asing berdasarkan proposal yang dijukan perguruan tinggi di Indonesia. ” Kami liat nanti ouput yang bisa dihasilkan dari mendatangkan dosen asing di perguruan tinggi, seperti menghasilkan publikasi, inovasi, atau paten di bidangnya,” kata Ghufron.
Menurut Ghufron, dosen asing yang dimaksud, bukan sebagai dosen tetap. Tapi lebih sebagai dosen kunjung, terutama untuk menguatkan kemampuan riset para dosen Indonesia. “Ada syarat dosen asing yang harus dipenuhi. Untuk yang tipe A, harus punya hubungan dengan perih nobel. Adapun yang tipe B yang punya publikasi internasionl dan pernah mendapat pendanaan penelitian dari lembaga internasional,” jelas Ghufron.
Menurut Ghufron, dosen asing yang diundang diharapkan bisa tinggal lebih lama di Indonesia. Minimal enam bulan hingga satu tahun.
Ibnu mengatakan kehadiran dosen asing harus jelas kontribusinya untuk menjadi daya ungkit peningkatan daya saing perguruan tinggi di Indonesia. “Harus ada pemetaan bidang yang dibutuhkan sehingga kehadiran dosen asing memberi dampak bagi kemajuan bidang yang jadi fokus pembangunan bangsa,” kata Ibnu.
Firmanzah mengatakan dosen asing sebaiknya dalam bentuk dosen atau profesor kunjung. Praktik ini sudah lazim dilakukan di perguruan tinggi di dunia.
“Jika dosen asing jadi dosen tetap, nanti gaduh dan butuh penyesuaian pada regulasi. Dengan visiting profesor itu lebih fleksibel,” ujar Firmanzah. (ELN)
Source: Kompas.id