Muhammad Husen, warga desa biasa memanggilnya Husen, sedang mengutak-atik mesin pompa air di pematang sawahnya. Sore itu ia berusaha mengalirkan air dari petak sawah milik tetangganya ke sawahnya sendiri yang kekurangan air. Maklumlah, sawah mereka adalah sawah tadah hujan yang artinya sangat tergantung sekali pada kemurahan alam. Saat ini ia sedang memulai menanam padi, lahan sudah digemburkannya, bibit sudah disiapkan dan tinggal air saja lagi yang belum cukup.
Gampong Paya U, kecamatan Blang Bintang, Aceh Besar, 14,5 km dari pusat kota Banda Aceh, sebuah desa yang berdekatan dengan Bandar udara Sultan Iskandar Muda, menjadi tempat tinggalnya dan berkumpul bersama keluarga. Saat menengadah mengayunkan cangkul, pesawat terbang berseliweran di atas langit persawahan dengan penumpang yang mungkin saja sedang memakan beras hasil kerja kerasnya. Petani berumur 56 tahun dengan 2 orang anak ini menggarap sawah milik sendiri dan orang lain seluas lebih kurang 1 ha. Pekerjaan menanam padi di sawah sudah dilakoninya sejak 30 tahun lalu, saat otot bisepnya masih menonjol kekar. Kini selain istri, kedua putra-putrinya turut membantu bekerja di sawah saat menanam hingga panen, masa yang paling mereka tunggu.
Sambil duduk di pematang Husen menjelaskan biaya tanam padi yang semakin mahal. “Biaya tanam padi setiap tahun terus meningkat, mulai dari biaya garap tanah, pupuk, penyemprotan hama, biaya potong saat panen membebani petani. Sedangkan harga jual padi “segitu-segitu” saja,”katanya. Petani menjual harga gabah ke kilang-kilang padi atau penampung hanya sebesar Rp.2.800/kg. “Tahun kemarin saya malah rugi karena gagal panen akibat sawah kekurangan air, biaya tanam tidak kembali,”kenangnya.
Husen ingin sekali harga padi meningkat. “Tetapi kondisi pasar beras kini sejak adanya program beras miskin (raskin) semakin tidak menentu,”demikian menurut Husen. Ia mengumpamakan bagaikan buah simalakama. “Raskin membantu masyarakat miskin seperti saya, tetapi disisi lain membuat harga padi yang dijual murah,”keluhnya. Walaupun hanya petani biasa sepertinya Husen paham benar dengan ilmu pasar. Jika persediaan melimpah maka harga akan turun. Begitu juga dengan beras, dengan melimpahnya raskin yang dijual sangat murah, seribuan perkilogram, menyebabkan harga jual merosot di pasaran umum. “Raskin sangat banyak diminati masyarakat sehingga harga jual padi menjadi jatuh,”katanya.
Ketika ditanya kepadanya apa peran Bulog bagi mereka petani padi. Husen sepertinya sedikit bingung, tidak tahu menjawab apa. “Yang saya tahu Bulog menjual beras miskin atau membeli beras dari kilang-kilang padi tapi saya tidak pernah berhubungan langsung dengan Bulog,”jawabnya. Peran lembaga pemerintah yang sudah berubah status menjadi perum ini tampaknya tidak dirasakannya. Husen masih ingat tahun 1960-an, ketika Bulog baru berdiri ia pernah mendapat bantuan beras subsidi dari pemerintah yang katanya dari Bulog. Kini pengetahuannya tentang Bulog juga tidak bertambah, yang ia pahami hanya padi yang ia jual ke kilang-kilang sekitar desa akan dibeli kembali oleh Bulog dalam bentuk beras. Soal harga, ia tidak begitu mengerti penetapan harga dari Bulog namun Husen yakin harga jual dari kilang ke Bulog pasti lebih tinggi dari harga yang ia terima. Maklum sebagai seorang petani desa ia tidak banyak memperoleh informasi tentang Bulog. Dan parahnya lagi ia tidak merasakan kehadiran Bulog disekitarnya kecuali gudang besar milik Bulog yang terletak di jalan raya menuju desanya.
Padahal Bulog telah berhasil melaksanakan tugas yang diberikan pemerintah, terutama dalam program pengadaan beras untuk stok nasional sebesar 3,2 juta ton. Sebab dengan keberhasilan yang dicapai tahun 2008 lalu, Indonesia tidak perlu lagi impor beras. Bahkan Indonesia juga ikut menyumbang peningkatan stok beras di pasaran internasional sebanyak 1 juta ton. Sebelumnya, pasar dunia memprediksikan pada tahun 2008 Indonesia akan mengimpor beras sebanyak 1 juta ton. Namun ternyata hingga akhir tahun, impor tidak diperlukan dan akibatnya ada kelebihan beras di pasar dunia. Dengan kondisi tersebut, Indonesia tidak saja menyumbang surplus beras dunia, tapi juga berpotensi untuk menurunkan harga beras di pasar internasional.
Keberhasilan Bulog mencapai target pengadaan sebesar 3,2 juta ton memang tidak pernah didengar oleh petani kecil seperti Husen. Penyerapan beras sebesar itu dampaknya sangat luar biasa. Harga beras dalam negeri menjadi stabil, bahkan lebih rendah dari harga internasional, sehingga mampu menahan masuknya beras secara ilegal. Dengan membeli beras petani dalam negeri untuk stok nasional, berarti ikut berperan dalam meningkatkan daya beli masyarakat, terutama petani. Kalau demikian adanya, mengapa masih ada petani miskin seperti Husen?
Direktur Utama Perum Bulog Mustafa Abubakar dalam sebuah kesempatan pernah mengatakan, dampak berantai yang ditimbulkan dalam pengadaan beras mencapai Rp18,6 triliun, sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di pedesaan. Adanya penyerapan beras petani yang cukup besar, tentunya menimbulkan dampak berantai (multiplier effect) yang tidak kecil. Selain itu juga mendorong peningkatan produksi dalam negeri, meningkatkan kesejahteraan petani serta memantapkan kemandirian pangan (swasembada) dalam memelihara stabilitas sosial, ekonomi, dan politik. Lagi-lagi ini merupakan sebuah pernyataan angin surga bagi petani kecil namun faktanya tidak terlalu dirasakan oleh mereka kecuali mungkin raskin yang mereka terima karena status mereka adalah miskin. Apakah petani harus tetap miskin hingga terus mendapat raskin? Pasti ada sesuatu yang salah dibalik mega sukses Bulog.
Bulog Masa Depan Yang Lebih Bersahabat
Tugas yang diberikan kepada Bulog merupakan implementasi kebijakan harga yang meliputi (1) menyangga harga dasar yang cukup tinggi untuk merangsang produksi, (2) perlindungan harga maksimum yang menjamin harga yang layak bagi konsumen, (3) perbedaan harga yang layak antara harga dasar dengan harga maksimum agar merangsang perdagangan, (4) hubungan harga yang wajar antara harga domestik dengan harga internasional.
Persoalan jatuhnya harga pada masa panen raya tetap merupakan ancaman dan resiko yang dihadapi petani yang harus ditangani Bulog dengan serius. Jumlah produksi yang besar pada masa panen raya, sekitar 48 persen luas panen terjadi pada Pebruari-Mei, memiliki potensi menekan harga. Diperkirakan ada surplus musiman sekitar 23 persen dari produksi pada masa tersebut. Masalah ini meskipun bersifat klasik perlu diperhatikan karena menyangkut kegiatan jutaan petani kecil yang rawan terhadap resiko.
Perlindungan pemerintah berupa jaminan harga bagi mereka sangat diperlukan. Untuk itu tambahan penyerapan bagi surplus musiman yang terjadi harus dilakukan baik melalui penciptaan pasar baru atau penyerapan oleh pemerintah agar harga produsen tidak semakin tertekan dengan menerapkan harga dasar. Namun perlu disadari bahwa kebijaksanaan harga dasar bukan merupakan satu-satunya instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan petani padi.
Kalau melihat kebijakan Bulog secara makro rasanya sudah tepat. Terbukti dengan surplus pengadaan beras nasional sebesar 3,2 juta ton sehingga menghemat persediaan pasar beras dunia sebesar 1 juta ton. Semua pihak dapat bertepuk tangan atas prestasi fenomenal ini yang bahkan dikatakan pertama terjadi sejak masa reformasi. Tetapi pihak yang bertepuk tangan ini bukan petani kecil yang notabene berpeluh keringat berharap cemas agar panen berhasil dengan harga yang sesuai. Bukankah Bulog juga mempunyai tanggung jawab mensejahterakan masyarakat petani?
Pengalaman petani Husen ternyata menunjukkan bahwa yang meraih keuntungan dalam kebijakan Bulog masih kelompok pemilik modal atau dengan kata lain pengusaha kilang. Mereka yang menjual beras kepada Bulog dengan harga stabil yang menguntungkan. Atau jika harga pasar sedang bagus mereka lebih suka memasok beras ke pasaran. Ini memang watak pedagang yang selalu mencari untung yang lebih besar. Kebijakan Bulog sudah seyogyanya dinikmati langsung oleh petani kecil yang mayoritas di Indonesia. Harus ada kebijakan mikro yang menjamin petani kecil merupakan penerima manfaat utama dengan hadirnya Bulog. Bukan seperti pernyataan petani Husen, yang sudah 30 tahun bertanam padi tetapi tidak merasakan kehadiran Bulog. Walaupun pernyataan tersebut sangat mungkin diperdebatkan, tetapi ini merupakan fenomena gunung es yang artinya masih ada banyak petani dibelakangnya yang juga tidak paham akan Bulog.
Pemerintah perlu memikirkan program pemberian income support to the farmer dalam jangka panjang, yaitu memberikan transfer uang secara langsung kepada petani berdasarkan jumlah produksi yang dijual kepada Pemerintah. Seperti model yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia. Walaupun kebijakan ini merupakan kebijakan yang mahal dari sudut pandang ekonomi, kebijakan ini merupakan bentuk keseriusan keberpihakan pemerintah kepada petani padi.
Apabila petani padi tidak diberi perlindungan maka jumlahnya akan semakin berkurang karena tidak mampu bersaing dengan sektor non padi dan sektor industri. Husen-husen lain mungkin akan pindah profesi yang lebih menguntungkan. Anak-anak Husen yang lain akan menghapus cita-cita menjadi petani karena melihat nasib bapaknya sebagai petani yang tidak menentu. Oleh karenanya Bulog masa depan adalah Bulog yang lebih bersahabat kepada petani. Seperti seorang teman setia, yang selalu saling membantu dikala suka dan duka.