Pemilu 2009 akan diwarnai persaingan ketat 34 partai politik berikut presiden dan wakil presiden yang mereka usung. Sayang, di antara calon-calon itu aktor-aktor lama masih mendominasi.
Bahkan, pesta demokrasi itu mungkin tidak menawarkan ”inovasi politik”, baik tingkat gagasan, visi, ideologi, strategi, dan program, karena dominannya ”gagasan usang” meski dibungkus ”kemasan baru”.
Kondisi ini menunjukkan tidak ada ”regenerasi politik” di tingkat aktor dan ”pembaruan politik” di tingkat institusi dan ideologi. Tidak banyak calon pemimpin muda. Tidak ada gagasan segar diusung. Tidak ada visi baru ditawarkan. Macetnya regenerasi politik akibat akumulasi krisis politik, krisis kepemimpinan, krisis kepartaian, dan krisis moral.
Padahal, Pemilu 2009 akan berlangsung dalam jiwa zaman (Zeitgeist) baru, di dalamnya ada aneka perubahan radikal dan transformasi besar dan memengaruhi iklim politik. Zeitgeist baru ini diwarnai perkembangan abad digital, masyarakat jaringan, virtualitas politik, dan percepatan tempo kehidupan, yang membutuhkan ”budaya politik baru”.
Percepatan politik
Zeitgeist baru ”abad virtual” telah memengaruhi tataran dan perilaku politik. Di dalamnya berkembang ”virtualitas politik” dan ”politik virtual”. Inilah politik di medan maya, di mana realitas politik dibingkai, ukuran moral dicetak, takaran nilai diciptakan, bakuan kebajikan disusun, aneka pertukaran dimediasi, dan aneka kebebasan dimanifestasikan.
Pada tataran ”tindak politik”, ”politik virtual” menawarkan ”kekuasaan untuk bertindak” (bertransaksi, memilih, bertukar) di ruang maya, otonom, dan deteritorialistik, ”melampaui” aneka batasan, aturan, dan nilai-nilai konvensional negara bangsa. Kekuatan jaringan ini mampu menghimpun, menghubungkan dan menggerakkan elemen politik secara lebih lentur, dinamis, dan kompleks (M Hardt dan A Negri, Empire, 2000).
Pada tataran ”ideologi politik” terjadi transformasi pada sistem demokrasi, yang kini dibangun dalam ”masyarakat jejaring”. Di dalamnya ”daulat aktor politik” diambil alih ”daulat jaringan”. Model pengaturan ”totalitas” demokrasi beralih ke pengaturan ”multiplisitas jejaring”, yang menghasilkan ”daulat-daulat heterogen” dalam aneka jaringan.
Pada tataran ”kekuasaan politik” tumbuh aneka ”kekuatan jaringan” (netocracy) yang heterogen, berhadapan dengan kekuatan negara-bangsa: jaringan teroris, narkoba, penyelundupan, subkultur, dan lainnya. Untuk menghadapinya diperlukan reformulasi dan reintegrasi kekuatan negara-bangsa secara substantif (A Bard dan J Söderqvist, Netocracy: The New Power Elite and Life After Capitalism, 2002).
Pada tataran ”kedaulatan politik” terjadi ”fragmentasi kedaulatan”. Kedaulatan dari pusat dan totaliter dipecah ke fragmen kedaulatan (micropower), yang membangun kekuasaan otonom mereka. Kedaulatan plural jaringan ini tak pernah stabil, bersifat temporer, dan bergerak dinamis sehingga sulit dikendalikan oleh negara.
Pada tataran ”pertukaran politik” cenderung terjadi percepatan pertukaran politik. Transaksi politik dibangun dalam sirkuit, menuntut ”politik kecepatan”, ”jantung” masyarakat politik (dromocracy). Transaksi politik menuntut ”pikiran cepat”, ”keputusan cepat”, ”komunikasi cepat”, ”tindakan cepat” dan ”perhitungan cepat”, serta memerlukan ”kecekatan politik”. (P Virilio, Speed and Politics, 1981)
Regenerasi politik
Dalam Zeitgeist baru abad virtual, negara-bangsa tak lagi dapat dipimpin generasi lama. Diperlukan regenerasi politik, ”generasi kuantum”, ”pemimpin muda”, yang telah ”berendam” abad virtual.
Zeitgeist baru menuntut ”kepemerintahan” dan watak ”kepemimpinan” baru. Ciri pemerintah dan pemimpin abad virtual adalah mampu mengelola elemen sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang heterogen, beragam, ”menembus batas”, dinamis, dengan kompleksitas keputusan tinggi (M Dean, Governmentality: Power and Rule in Modern Society, 1999).
Di sini, dibutuhkan pemimpin yang lebih ”terbuka”, ”lentur”, ”dinamis”, ”adaptif”, ”lincah”, ”haus informasi”, dan ”luas pengetahuan”, selain syarat konvensional moralitas, kebajikan, dan spiritualitas. Generasi pemimpin muda lebih mampu beradaptasi dengan kompleksitas politik lebih tinggi. Mereka berani menawarkan aneka ”terobosan”, ”pembaruan”, ”dekonstruksi”, bahkan ”inovasi politik”.
Siapa ”pemimpin pembaru” itu? Melihat partai peserta Pemilu 2009, tidak banyak yang bisa diharapkan dari kader partai. Wajah lama masih dijagokan dan gagasan politik partai mandek. Para calon di luar partai dan ”calon independen” mungkin lebih memberi harapan karena memiliki ”kebebasan cara pikir”.
Para pemimpin ”generasi kuantum” diharapkan mampu mengambil alih estafet kepemimpinan bangsa ke depan. Mereka diharapkan mampu mengubah mindset, visi, etos, paradigma, metode, strategi, dan ”perilaku demokrasi” untuk membangun tatanan sosial lebih konstruktif, ranah ekonomi lebih menyejahterakan, budaya politik lebih santun, masyarakat politik lebih cerdas, dan negara-bangsa lebih ”tahan”. Selamat para pemimpin muda!
Yasraf Amir Piliang Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK), FSRD, Institut Teknologi Bandung
Source : kompas.com