Tak cuma pedagang dan toko retail yang sedang terpukul saat ini. Produsen barang konsumsi atau kebutuhan konsumen (Fast Moving Consumer Goods / FMCG) juga menderita perlambatan pertumbuhan penjualan selama sembilan bulan pertama tahun ini. Hal tersebut semakin mempertegas indikasi melemahnya daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah-bawah, ketimbang pengaruh tren penjualan secara elektronik (e-commerce).
Berdasarkan data lembaga survei Nielsen, penjualan barang konsumsi selama periode Januari-September 2017 hanya tumbuh 2,7%. Angka ini melanjutkan tren perlambatan penjualan FMCG yang tahun lalu tumbuh 7,7%, atau di bawah rata-rata pertumbuhan tahunan penjualannya sebesar 11% selama lebih 10 tahun ini.
Salah satu indikator yang mencolok adalah momen Hari Raya Idul Fitri, yang lazimnya menjadi masa panen penjualan barang-barang konsumsi. Namun, pada Lebaran tahun ini, pertumbuhan penjualannya hanya 5%, atau jauh di bawah pertumbuhan selama periode 2014-2016 yang secara berturut-turut sebesar 20,6%; 16,3%; 13,4%.
Fenomena lesunya penjualan barang konsumsi juga terlihat merata di seluruh daerah. Di DKI Jakarta, penjualan FMCG turun 2,3%. Begitu pula di Jawa Timur yang turun 0,1%. Sedangkan penjualan barang konsumsi di Jawa Barat dan Jawa Tengah masih naik tipis masing-masing 6,1% dan 1,7%. Padahal, empat provinsi di Pulau Jawa ini menguasai 68% total pasar penjualan barang konsumsi di seluruh Indonesia.
Pertumbuhan signifikan penjualan barang konsumsi hanya terjadi di tiga wilayah, yang sejalan dengan menggeliatnya bisnis di tiap wilayah tersebut. Pertama, di Sumatera Selatan tumbuh 8% karena merupakan daerah penghasil minyak kelapa sawit (CPO).
Kedua, di Kalimantan tumbuh 14,3% karena merupakan daerah penghasil batubara. Ketiga, di Bali dan Nusa Tenggara tumbuh 7,4% karena sektor pariwisata. (Baca: Debenhams Pergi, Pengelola Ubah Konsep Senayan City)
Nielsen menyimpulkan, perlambatan penjualan barang konsumsi itu tidak dipengaruhi oleh tren belanja secara online. Alasannya, penjualan FMCG melalui lapak e-commerce tahun lalu sebesar Rp 1,5 triliun atau 0,3% dari total nilai penjualan barang konsumsi.
Nilai tersebut tidak sebanding dengan penurunan penjualan FMCG yang mencapai Rp 37 triliun, berdasarkan selisih antara rata-rata pertumbuhan tahunan penjualan FMCG sebesar 11% atau senilai Rp 49 triliun sedangkan realisasi selama Januari-September 2017 hanya tumbuh 2,7% atau senilai Rp 12 triliun.
Daya beli masyarakat menengah ke bawah tertekan
Nielsen menjelaskan penyebab penurunan konsumsi barang rumah tangga karena pelemahan daya beli pada masyarakat menengah ke bawah. Pelemahan daya beli disebabkan turunnya take home pay dan sebaliknya biaya kebutuhan hidup meningkat.
Penghasilan masyarakat turun karena tak ada kenaikan gaji atau kenaikan yang tak signifikan, juga berkurangnya tambahan pemasukan dari lembur, ketiadaan komisi atau sumber lainnya. Sementara biaya hidup dan pengeluaran meningkat seperti tarif listrik, biaya makanan, dan belanja sekolah.
Masyarakat pun berhemat dengan mengerem belanja yang membuat konsumsi mi intan turun 2,7% dan kopi instan turun 1,5%. Sebaliknya, masyarakat memilih membawa bekal makanan dan membuat snack sendiri yang terlihat dari peningkatan belanja tepung terigu 28,1%, minyak goreng (13,4%) dan susu cair (13,8%). Mereka juga memilih produk dalam kemasan kecil (sachet) untuk mengontrol penggunaannya.
Pengamat Faisal Basri dalam tulisan Transformasi Struktural dan Daya Beli juga memaparkan terjadi penurunan daya beli pada kelompok 40% termiskin. Nilai tukar petani sejak November 2014 hingga Agustus 2017 turun dari 102,87 menjadi 101,60. Khusus untuk NTP pangan penurunannya lebih tajam, dari 102,0 menjadi 98,3. Dia menggaris bawahi, NTP di bawah 100 perlu diwaspadai.
Sementara itu upah riil buruh tani juga merosot 2,49% selama kurun waktu November 2014 hingga Agustus 2017. Pada kurun waktu yang sama, upah riil buruh bangunan di perkotaan pun mengalami penurunan sebesar 2,12%.
Di samping itu, Faisal mengatakan ada beberapa indikasi penurunan daya beli telah merembet ke kelompok 40% berpendapatan menengah, khususnya menengah-bawah dan menengah-tengah. Dia antaranya akibat pencabutan subsidi listrik untuk pelanggar 900 VA. Jumlah mereka sekitar 19 juta.
“Akibat pencabutan subsidi itu, pengeluaran rerata kelompok ini untuk listrik naik tajam dari Rp 80.000 per bulan menjadi Rp 170.000 per bulan,” tutur Faisal.
Pemerintah pun menyadari mengenai pelemahan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah. Pemerintah akan kembali menyalurkan dana desa pada 2018 sebesar Rp 60 triliun yang akan dikucurkan ke sekitar 74 ribu desa. Angka ini terus meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya, yaitu sebesar Rp 47 triliun (2016) dan Rp 21 triliun (2015).
Berbeda dengan penyaluran sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana mengkaitkan penyaluran dana desa 2018 dengan kewajiban penyerapan tenaga kerja setempat.
Tren konsumsi kelas menengah atas
Berbeda dengan kelompok menengah ke bawah, riset Nielsen menunjukkan masih terjadi pertumbuhan konsumsi di kelas masyarakat atas sekitar 34%. Masyarakat kelas atas ini masih mengeluarkan pendapatannya untuk biaya lifestyle seperti biaya makanan di restoran, namun tetap wait and see.
Penjelasan mengenai kondisi masyarakat kelas menengah atas ini, sinkron dengan analisis Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ari Kuncoro beberapa waktu lalu. Ari menyebut ada pergeseran konsumsi pada masyarakat kelas menengah atas. Sebagian besar golongan kelas ekonomi ini cenderung menunda konsumsi barang tahan lama untuk sekadar menikmati waktu luang.
Salah satu indikasi yang dijadikan acuan oleh Ari adalah keingingan masyarakat untuk rekreasi atau menikmati waktu senggang ke luar kota. Kemacetan yang sering terjadi di sepanjang ruas tol Jagorawi arah Puncak, Bogor dan tiket kereta api yang terjual habis saat akhir pekan yang panjang menjadi salah satu parameternya.
“Sekarang bukan zamannya lagi pamer barang baru seperti handphone atau baju baru tetapi orang lebih suka pamer foto liburan yang langsung bisa di-upload di media sosial mereka,” kata Ari, beberapa waktu lalu.
Sebenarnya, lanjut Ari, nilai pendapatan bulanan masyarakat kelas menengah tidak mengalami peningkatan yang berarti. Tapi, untuk menunjukkan aktualisasi kelasnya, masyarakat golongan menengah ini harus membuat pilihan antara membeli barang elektornik atau melakukan hal lain. “Dan mereka memilih jalan-jalan,” kata Ari.
Faisal Basri menyatakan masyarakat kelas menengah atas melakukan pengalihan (switching) dari porsi pendapatan untuk belanja ke tabungan. Pada triwulan II-2016 porsi pendapatan masyarakat yang ditabung sebesar 18,6%, pada triwulan II-2017 naik menjadi 21,1%.
“Survei Kepercayaan Konsumen oleh Bank Mandiri juga menunjukkan kecenderungan serupa dan berlanjut. Berdasarkan survei itu, porsi pendapatan masyarakat yang ditabung naik dari 20,6% pada Juli 2017 menjadi 21,1% pada Agustus 2017,” kata Faisal.
Pengalihan ke tabungan tampak pula dari akselerasi kenaikan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan sejak Oktober 2016. Pada September 2016 pertumbuhan DPK hanya 3,5%. Sebulan kemudian naik menjadi 6,5%, lalu naik lagi menjadi 8,4% pada November dan 9,6% pada Desember.
Sejak Januari 2017 hingga Juni 2017 pertumbuhan DPK hampir selalu dua digit. Sebaliknya, kredit yang disalurkan perbankan melemah dan hanya tumbuh satu digit selama 19 bulan terakhir. “Jadi, dana masyarakat yang mengendap di perbankan mengalami peningkatan,” kata dia.
Faisal menyarankan agar pemerintah menyasar kelas menengah atas dengan menggenjot sektor pariwisata. Dia menyebut, terdapat potensi 78 Juta WNI yang siap untuk berwisata. “Tantangan pemerintah yang utama bagaimana mengajak warga negara Indonesia sendiri bisa berkunjung dan berwisata ke wilayah Indonesia sendiri,” kata dia.
Source: katadata.co.id