Studi ekonomi-politik media hari ini harus memperhitungkan keberadaan raksasa-raksasa global teknologi informasi, seperti Google, Yahoo, Facebook, dan Microsoft.
Merekalah yang mengambil keuntungan paling besar dari proses evolusi ekologi media dewasa ini, di mana masyarakat semakin bergantung pada mode komunikasi yang berbasis pada perantaraan medium internet dan perangkat telepon pintar. Penetrasi bisnis mereka telah melampai batas-batas geografis dan secara cepat mengubah konstelasi media secara global.
Sebagai gambaran, kita dapat menyimak data ZenithOptimedia berikut ini. Tren iklan media digital mengalami pertumbuhan pesat lima tahun terakhir. Dari total belanja iklan global 548 miliar dollar AS tahun 2015, porsi iklan media digital mencapai 29 persen, melampaui porsi belanja iklan media cetak sebesar 12,8 persen. Belanja iklan televisi tetap dominan dengan porsi 37,7 persen. Namun, ZenitOptimedia memperkirakan, belanja iklan media digital melampaui belanja iklan media televisi tahun 2019.
Dari belanja iklan media digital sebesar 159 miliar dollar AS pada 2015, 65 persen dikuasai segelintir korporasi global penyedia layanan mesin pencari (search engine) atau aplikasi media sosial, seperti disebut di atas. Dalam lima tahun terakhir, Google selalu mendominasi perolehan belanja iklan digital, dengan porsi antara 39-44 persen. Bagaimana dengan belanja iklan media jurnalistik online alias daring? Secara komparatif masih belum signifikan sehingga belum diperhitungkan secara global.
Tak pelak lagi, masa depan media massa konvensional ditentukan oleh inovasi dan manuver raksasa-raksasa global itu. Sebagai contoh, kita bisa melihat bagaimana praktik bisnis web search engine, seperti Google dan Yahoo turut mengubah nasib media jurnalisme. Dengan kapasitas data dasar dan algoritma yang mereka miliki, web search engine mampu mengagregasi dan menyajikan konten jurnalistik dari semua media sejauh terhubung melalui jaringan internet. Proses agregasi ini terjadi secara otomatis, tanpa perjanjian apa pun dengan si pemilik konten.
Muncul persoalan etika dan hukum di sini. Web search engine memperoleh pendapatan iklan dari persebaran informasi yang sebagian besar tidak mereka produksi sendiri, tetapi mereka himpun dari sumber lain. Perseteruan pun terjadi antara web search engine dan pengelola media jurnalistik di berbagai negara: Perancis, Inggris, Kanada, Spanyol, Belgia, Jerman, Australia, Amerika Serikat, dan Tiongkok.
Pada 2013, Google membayar ganti rugi 60 juta euro selama tiga tahun kepada beberapa media Perancis untuk menghindari gugatan hak cipta. Agustus 2013, Parlemen Jerman mengesahkan regulasi tentang hak cipta media pers (Ancillary copyright for news publishers). Regulasi ini mewajibkan agregator berita dan web search engine membayar royalti atas konten berita yang mereka agregasi dari media konvensional. Regulasi serupa juga diterapkan di Spanyol sejak awal 2016. Beberapa pihak menolak regulasi ini, misalnya, pengelola portal berita yang justru merasa terbantu oleh web search engine. Kontroversi pun tak bisa dihindari.
Hubungan yang setara
Hubungan media jurnalistik dengan web search engine ibarat hubungan “benci tapi rindu”. Nikos Smyrnaios dalam tulisan berjudul “Journalism facing the Internet oligopoly: Google, Facebook and news infomediation”(2015) menyebutnya coopetision: kooperasi sekaligus kompetisi. Penyebarluasan konten jurnalistik melalui web search engine memungkinkan media jurnalistik untuk mendapatkan indeks atau traffic. Sebaliknya web search engine bergantung pada produktivitas media jurnalistik dalam menghasilkan berita setiap hari. Namun kedua pihak sebenarnya institusi bisnis yang bersaing untuk meraih iklan dan popularitas. Persaingan yang lebih banyak dimenangi web search engine.
Masalah berikutnya adalah pajak. Negara Eropa, seperti Inggris, Perancis, Spanyol, Jerman, dan Italia belakangan sedang getol mempersoalkan praktik penggelapan pajak lintas benua, terutama sekali yang diduga dilakukan Google.
Sekadar ilustrasi, transaksi iklan Google di London tidak dapat dikenakan pajak Inggris (25 persen) karena hak paten aplikasi iklan dimiliki sebuah perusahaan di Irlandia. Pajak Irlandia (12,5 persen) tak dapat diterapkan karena perusahaan itu harus membayar royalti kepada perusahaan lain di Belanda. Perusahaan Belanda ini lalu membayarkan royalti ke perusahaan Irlandia lain lagi tanpa pajak menurut peraturan Uni Eropa. Perusahaan Irlandia terakhir ini juga bebas dari pajak karena dikontrol oleh wajib pajak di Bermuda. Istilah Double Irish With a Dutch Sandwich populer digunakan untuk mengolok-olok praktik semacam ini.
Isu pajak ini terkait erat dengan isu iklim persaingan usaha yang timpang. Tanpa adanya kepastian skema pajak, web search engine dapat menerapkan harga iklan yang murah atau meraih pendapatan iklan lebih besar. Sementara media konvensional tetap terbebani berbagai pajak dan biaya produksi yang besar. Web search engine jelas lebih efisien karena mereka umumnya tidak memproduksi informasi sendiri dan hanya mengagregasi informasi dari sumber lain.
Dengan peta baru seperti ini, beberapa isu strategis perlu dipikirkan komunitas media. Pertama, untuk mendorong terciptanya iklim bisnis media yang sehat, rencana pemerintah meminta Google dan lain-lain menjadi wajib pajak di Indonesia sesungguhnya patut disambut. Rencana ini turut menentukan nasib media massa di Indonesia ke depan, sejauh pemerintah telah mengantisipasi benar praktik pengalihan pajak, seperti dijelaskan di atas. Komunitas pers perlu memberi perhatian lebih pada persoalan ini.
Kedua, mengembangkan model hubungan yang saling menguntungkan dengan web search engine. Menolak keberadaan Google tidak realistis. Namun, merumuskan hubungan yang setara masih dapat dilakukan. Kita dapat memulainya dengan mengkaji regulasi tentang hak cipta media jurnalistik, seperti diinisiasi negara-negara Eropa di atas. Apa yang dapat diambil dan dikembangkan dari regulasi ini untuk konteks Indonesia? Perlu segera dipikirkan bersama.
AGUS SUDIBYO
Ketua Program Studi Komunikasi Massa Akademi Televisi Indonesia, Jakarta
Source: Kompas.com