BANDA ACEH – Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), menyatakan penolakan terhadap saran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) agar DPRA dan KIP mengusul ulang calon anggota Panwas dari Aceh sebanyak enam orang untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan.
“Saran Bawaslu itu belum bisa kita penuhi, karena apa yang telah kita kerjakan itu punya dasar hukum yang kuat dan setara dengan dasar hukum yang digunakan Bawaslu,” ujar Ketua Komisi A DPRA, Khairul Amal, usai rapat terpadu antara Komisi A DPRA, eksekutif, dan KIP Aceh, yang membahas surat Bawaslu tentang pengusulan kembali anggota Panwaslu Aceh, di Ruang Panggar Dewan, DPRA, Senin (4/8).
Rapat tripartit yang dimulai pukul 15.00-17.50 WIB itu, digelar khusus untuk membahas surat Bawaslu, 29 Juli 2008 yang ditujukan kepada Ketua DPRA, yang isinya antara lain menyarankan DPRA dan KIP mengusul ulang calon anggota Panwas dari Aceh sebanyak enam orang untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan.
Rapat ini dihadiri Wakil Ketua DPRA, Tgk Waisul Qarani Aly, Ketua Komisi A, Khairul Amal, Sekretaris Bahrom Mohd Rasyid, dan M Jamal Yunus (anggota). Dari KIP langsung dipimpin ketuanya, Abdul Salam Poroh bersama tiga orang anggota. Sedangkan dari eksekutif, hadir Plt Asisten I Bidang Pemerintahan Setda Aceh, Ali Alfatah, Kepala Biro Hukum dan Humas, A Hamid Zein, bersama stafnya Makmur serta sejumlah staf ahli hukum lainnya.
Pihak KIP Aceh menghendaki, masalah pembentukan Panwaslu Aceh bisa secepatnya terwujud. Alasannya, karena pelaksanaan pemilu legislatif yang pencoblosannya akan dilakukan pertengahan April 2009 mendatang, tahapannya sudah dimulai bulan ini. Misalnya, pengambilan formulir pedaftaran caleg, masa kampanye dan verifikasi vaktual dukungan untuk calon anggota DPD RI. Untuk mengawasi proses tahapan ini diperlukan pengawas, yang sampai kini belum juga ada, kata Ketua KIP Aceh, Abdul Salam Poroh.
Ketua Komisi A, Khairul Amal, Sekretaris Komisi A, Bahrom Mohammad Rasyid dan anggota Jamal Yunus menyatakan, apa yang telah dikerjakan Komisi A DPRAdalam menjaring dan menyaring serta mengusul lima orang calon anggota Panwas Aceh kepada Bawaslu, sudah sesuai UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh pasal 60 ayat 3) berbunyi anggota Panitia Pengawas Pemilihan sebagaimana dimaksud ayat 1) dan ayat 2) masing-masing sebanyak 5 (lima) orang yang diusul oleh DPRA/DPRK.
Sebelumnya, Bawaslu menyarankan, agar DPRA dan KIP mengusul kembali enam orang calon anggota Panwas dari Aceh untuk diuji kepatutan dan kelayakannya.
Tiga orang yang lulus akan ditetapkan dan dilantik menjadi anggota Panwas. Saran ini disampaikan Bawaslu atas dasar pasal 93 UU Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu.
Menanggapi ini, Khairul Amal mengatakan, pihak Bawaslu harusnya tidak berpegang teguh pada pasal 93 itu, melainkan dalam pasal 119 UU yang sama menjelaskan, Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi penyelenggara pemilu di provinsi yang bersifat khusus atau bersifat istimewa sepanjang tidak diatur lain dalam undang-undang tersendiri.
Isi pasal 119 UU Nomor 22 tahun 2007 ini, kata Khairul, harusnya ditafsirkan Bawaslu secara meluas, dan memberikan kewenangan kepada UUPA tentang pengusulan lima orang anggota Panwas Aceh tersebut, bukan malah menolaknya.
Ia mengatakan, kalau Bawaslu merasa tidak cocok dengan isi pasal 60 ayat 3) UUPA itu atau terhadap pasal lainnya yang mengatur masalah Panwas Aceh, seharusnya mereka melakukan judicial riveiw, bukan mengeleminir pasal tersebut dengan selembar surat serta “memaksa” DPRA dan KIP Aceh mengusul ulang calon anggota Panwas yang mau dipilih dan dilantiknya.
Karena itu, kata Khairul, hingga kemarin pihaknya belum bisa memenuhi saran Bawaslu untuk mengusul ulang calon anggota Panwas Aceh sebanyak enam orang seperti yang disampaikan dalam suratnya, 29 Juli 2008. “Surat Bawaslu itu akan kita jawab dan jawabannya juga sesuai dasar hukum yang ada yaitu UUPA Nomor 11 tahun 2006 dan Qanun Nomor 7 tahun 2007. Kedua aturan ini sampai kini belum ada yang mengeliminir atau membatalkannya, karena itu apa yang telah dilakukan sudah benar,” kata dia.
Ia menyebutkan contoh, anggota KIP Aceh sebanyak tujuh orang, sementara daerah lain lima orang. Tapi karena Aceh berlaku khusus, KPU Pusat melantik dan membiayai ketujuh orang tersebut melalui smber dana APBN. “Tapi kenapa Bawaslu, menyatakan, hanya akan melantik tiga orang saja, dan dua orang lagi di SK-kan melalui SK daerah dan biayanya ditanggung APBA. Jika saran Bawaslu itu diikuti, berarti DPRA telah melanggar hukum dan tidak komit dengan kebenaran yang telah dilakukan,” demikian Khairul Amal.(her)
Source : Serambi Indonesia