Jakarta, Kompas – Verifikasi keanggotaan partai politik lewat metode sampling dinilai sudah melanggar hukum. Kesalahan Komisi Pemilihan Umum atau KPU semakin bertambah jika pemilihan sampel dilakukan dengan melibatkan parpol calon peserta Pemilu 2009.
Direktur Eksekutif 7 Strategic Studies Mulyana W Kusumah, Jumat (6/6), menyebutkan, cara pembuktian keanggotaan dengan sampel saja sudah menyalahi ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Kesalahan semakin bertambah jika sampel yang akan diverifikasi faktual ditentukan bersama parpol. Diskresi KPU yang berlebihan seperti itu hanya bakal memunculkan konsekuensi hukum di kemudian hari.
”Jika itu yang terjadi, ada potensi political fraud’ (kecurangan politik),” ujar Mulyana yang mantan anggota KPU.
Seperti diberitakan, untuk verifikasi faktual parpol calon peserta Pemilu 2009, KPU menggunakan metode random sampling untuk mengecek keanggotaan di tingkat kabupaten/kota. Ada juga kemungkinan KPU boleh mengundang anggota parpol di satu tempat untuk diverifikasi.
Sebagai bandingan, pada Pemilu 2004 KPU sempat mengeluarkan kebijakan untuk ”melibatkan” parpol dalam verifikasi faktual. Rencananya, KPU kabupaten/kota akan memberitahukan kepada parpol mengenai nama pemilik kartu tanda anggota dan alamatnya yang akan diteliti faktual berikut jadwal waktunya. Selanjutnya, ketua parpol bersangkutan mengumpulkan mereka yang terdaftar itu di tempat yang ditentukan untuk selanjutnya KPU kabupaten/kota menguji keabsahan secara fisik. Namun, akhirnya KPU meralatnya dan menyatakan bahwa verifikasi faktual harus dilakukan langsung door to door.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia Ahmad Fauzi Ray Rangkuti mengingatkan, jadwal verifikasi faktual tidak boleh dibuat tertutup. Di tengah ketidakhadiran aparat Badan Pengawas Pemilu, semestinya prinsip transparansi dijalankan. Hanya ketika publik mengetahui proses verifikasi, proses pengawasan bisa dijalankan oleh masyarakat.
Semakin ironis ketika jadwal ditutup untuk publik, tetapi dalam penentuan sampel, KPU malahan bekerja sama dengan parpol. Wajar saja anggapan bahwa langkah itu mengesankan KPU ingin mempermudah, tetapi dengan mengabaikan hal prinsip.
Keterbatasan KPU dalam melaksanakan verifikasi diselesaikan dengan menyiasati ketentuan. Menurut Ray Rangkuti, tindakan KPU tersebut berisiko pada delegitimasi pelaksanaan pemilu. (dik)
Tulisan ini dikutip dari kompas.com, 8 Juni 2008